A. Proses Pembentukan Dinasti Fatimiyah
Dinasti fatimiyah berdiri tahun 297-567-/909-1171 semula di afrika utara, kemudian di Mesir dan Syria.[1] dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah, keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad). Kata Fatimiyah dinisbahkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Abbas Mahmud al-Aqqad menyatakan bahwa setiap keturunan Fatimah Az-Zahra’ disebut orang-orang Fatimi. Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Fatimah). Daulah Fatimiyah disebut juga dengan Daulah Ubaydiyah yang dinisbahkan kepada pendiri daulah ini yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al-Mahdi (297-332 H / 909-934 M). orang-orang Fatimiyah disebut juga kaum Alawi yang dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Thalib. Ubaidillah al-Mahdi sebagai pendiri daulah Fatimiyah mempunyai silsilah keturunan yang berasal dari Ali bin Abi Thalib seperti halnya sisilah imam-imam Syiah.
Berdirinya Dinasti Fatimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10, bilamana kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak terkoordinasikan lagi. Kondisi seperti ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Kondisi Abbasiyah ini juga telah menyulut timbulnya pemberontakan dari kelompok-kelompok yang selama ini merasa tertindas serta mebuka kesempatan bagi kelompok Syiah, Khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.
Munculnya gerakan fatimiyah, yang di Afrika Utara mencapai kekuasaannya di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi, berakar pada sekte syiah ismailiyah yang doktrin-doktrinnya berdimensi politik, agama, filsafat dan sosial dan para pengikutnya mengharapkan kamunculan al-Mahdi. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi saw melalui Ali dan Fatimah melalui garis Isma’il, putra Ja’far as-Sadiq. Namun musuh-musuh mereka manolak bahwa asal-usul mereka tersebut adalah dari Ali, menuduh mereka panipu dan sesuai dengan kebiasaan Arab kuno untuk memberi asal-usul Yahudi pada orang-orang yang mereka benci; Ubaidillah dituduh sebagai keturunan Yahudi. Sampai sekarang pun asal-usul mereka tersebut masih belum diketahui kepastiannya.
Di Afrika Utara, kelompok Syiah Ismailiah mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909 Ubaidillah al-Mahdi memproklamirkan berdirinya Khalifah Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Abbasiyah. Ia mulai memperkuat dan mangkonsolidasikan khilafahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah asy-syi’i, seorang dai Ismailiyah yang sangat berperan dalam mendirikan Daulah Fatimiyah di Tunis. Waktu itu muncul juga perlawanan-perlawanan terhadap khilafah ini dari kelompok-kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke Dinasti Umayyah di Andalusia maupun kelompok Khawarij dan Barbar.
Setelah basis kekuasaan di Tunis kuat, Khilafah Fatimiyah di bawah al-Mu’izz (Khalifah keempat) dengan panglimanya Jauhar al-Katib as-Siqilli dapat menguasai Mesir pada tahun 969. Ia mendirikan kota baru yang disebut al-Qahirah (Kairo) yang berarti kota kemenangan dan kemudian menjadi ibukota Khilafah Fatimiah pada masa-masa selanjutnya.
Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan Fatimiyah, Khalifah dengan gelar Mu’iz sistem pemerintahan dibenahi dengan membagi-bagi wilayah propinsi menjadi sebuah distrik dan mempercayakannya kepada pejabat-pejabat yang cakap, ia juga menertibkan bidang kemiliteran, industri dan perdagangan mengalami kemajuan pesat dan melakukan gerakan pembaharuan.Fatimiyah memakai gelar khalifah sebagai tandingan khilafah Abbassiyah di bagdad. Ibu kota pemerintahannya dipindahkan dari al-Mahdiyah ke Kairo dimasa khalifah Mu’iz Lidinillah (341-365/952-975). Didirikannlah masjid al-Azhar yang nantinya berfumgsi sebagai universitas, dan dari situ disebarkan para da’i ke luar mesir.[2]
B. MASA KEJAYAAN DINASTI FATHIMIYAH
Pada masa Dinasti Fathimiyah, terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz, kehidupan masyarakat selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas dari keadaan pemerintahan yang damai. Al-Aziz adalah khalifah Fathimiyah yang kelima sejak berdirinya dinasti ini di Tunisia, dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir.
Simbolisme istana yang penting diekspresikan dalam upacara, kesenian arsitektur, dan agama Islam. Di dalam istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan keyakinan Isma’iliyah. Para hakim, misionari, qari al-Quran, dan imam shalat secara reguler hadir dalam berbagai upacara di dalam istana.
Periode ini menandai munculnya era baru dalam sejarah bangsa Mesir, yang untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan penuh yang didasarkan atas prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan kepemimpinan agama dan politik jelas terlihat. Prinsip kepemimpinan yang mengharuskan seorang imam harus menjadi sosok yang adil, yang bisa menjauhkan umat dari siksaan, suara kebenaran, yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki, dan kehidupan manusia, telah berhasil menjulanah-khutbah Jumat di sepanjang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah, di Yaman, Mekah, Damaskus, dan bahkan di Mosul.
Di bawah kekuasaan al-Aziz, Fathimiyah berhasil mendapatkan tempat tertinggi sebagai negara Islam terbesar di kawasan Mediterania Timur. Ia telah berhasil menjadikan negaranya sebagai lawan tangguh bagi kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad.
Stategi promosi Fathimiyah yang gencar dilakukan untuk mengagungkan agama diwujudkan dengan memasyarakatkan pemuliaan terhadap keluarga Ali. Pemuliaan terhadap imam yang masih hidup disejajarkan dengan pemuliaan terhadap kalangan syuhada dari keluarga nabi. Pemerintah membangun sejumlah bangunan makam keluarga Ali untuk meningkatkan kegiatan perziarahan.
Selain berhasil mewujudkan kemakmuran, strategi lain yang dijalankannya adalah memberikan toleransi yang tak terbatas kepada umat Kristen. Keadaan ini sama sekali tidak pernah dirasakan oleh masyarakat pada periode-periode sebelumnya.
Di Bidang Politik, kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Fatimiyah dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang bersifat politis yang dikeluarkan oleh khalifah di antaranya:
Pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan langkah strategis. Mesir akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai Negara yang tunduk padanya, karena lebih dekat dengan dunia Islam bagian Timur, sedangkan Qairawan jauh di sebelah utara Benua Afrika.
Pembentukan Wazir Tanfiz yang bertanggung jawab mengenai pembagian kekuasaan pusat dan daerah.Namun Fatimiyah kurang berhasil di bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika menghadapi kelompok nasrani dan sunni yang sudah lebih dahulu mapan daripada Mesir.
C. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fathimiyah
Kemunduran Dinasti Fatimiyah dengan cepat terjadi setelah berakhirnya masa pemerintahan al-Aziz. Keruntuhan itu diawali dengan munculnya kebijakan untuk mengimpor tentara-tentara dari Turki dan Negro sebagaimana yang dilakukan Dinasti Abbasiyah. Ketidakpatuhan dan perselisihan yang terjadi diantara mereka, serta pertikaian dengan pasukan dari suku barbar menjadi salah satu sebab utama keruntuhan Dinasti ini.
Ketika Khalifah al-Azis meninggal pada tahun 386 H / 996 M lalu digantikan oleh putranya Abu Ali Manshur al-Hakim yang baru berusia 11 tahun. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan kejam yang menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009). Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, dan mereka hanya dibolehkan menunggangi keledai; setiap orang Kristen diharuskan menunjukkan salib yang dikalungkan di leher ketika mandi, sedangkan orang Yahudi diharuskan memasang semacam tenggala berlonceng.
Al-Hakim adalah khalifah ketiga dalam Islam, setelah al-Mutawakkil dan Umar II yang menetapkan aturan-aturan ketat kepada kalangan nonmuslim. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibnu Abdun,dan tindakan itu merupakan sebab utama terjadinya perang salib I (1096 M).
Seiring dengan berjalannya waktu, dengan model pemerintahan tersebut, Dinasti Fatimiah semakin menurun karena banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia, sehingga di samping mereka hanya menjadi boneka para wazir juga timbul konflik kepentingan di kalangan militer antara unsur Barbar, Turki, Bani Hamdan dan Sudan. Terlebih lagi, para penguasa itu selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah dan adanya pemaksaan ideologi Syiah pada rakyat yang mayoritas Sunni.
Dalam kondisi khilafah yang sedang lemah, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer dan ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah, muncul bayang-bayang serbuan tentara Salib. Merasa tidak sanggup menghadapi tentara Salib. Khalifah az-Zafir melalui wazirnya Ibnu Salar minta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki, penguasa Suriah di bawah kekuasaan Baghdad. Nuruddin az-Zanki mengirim pasukannya ke Mesir di bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin al-Ayyubi yang kemudian berhasil membendung invasi Tentara Salib ke Mesir.
Dalam perkembangan selanjutnya, dalam tubuh Dinasti Fatimiah masih juga terjadi persaingan memperebutkan wazir. Dalam persaingan itu, bahkan ada yang mengundang kembali tentara Perancis (Salib) untuk dijadikan backing. Maka pada tahun 1167 pasukan Nuruddin az-Zanki kembali memasuki Mesir di bawah pimpinan Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya untuk membantu melawan kaum Salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai oleh tentara Salib lebih baik mereka sendiri yang menguasaninya. Apalagi perdana menteri Mesir pada waktu itu, Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya mereka berhasil mengalahkan tentara Salib sekaligus juga menguasai Mesir.
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Ia mendapat dukungan dari masyarakat setempat yang mayoritas Sunni. Kesempatan ini, juga bertepatan dengan sakitnya al-Adid, oleh Nuruddin dipergunakan untuk menghidupkan kembali Khalifah Abbasiyah di Mesir. Maka pada tahun 1171 berakhirlah riwayat Dinasti Fatimiah di Mesir yang telah bertahan selama 262 tahun.
Menurut Mohammad Nurhakim dalam bukunya Sejarah dan Peradaban Islam, faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Fatimiyah adalah akumulasi dari masalah-masalah yang bermunculan khususnya pada masa paruh kedua. Di antara faktor-faktor yang paling menonjol ialah sebagai berikut:
a. Melemahnya para khalifah, khususnya sejak al Mustansir. Kelemahan ini disebabkan karena ketika dinobatkan menjadi khalifah, usia mereka masih sangat muda. Lemahnya khalifah ini menyebabkan tampilnya orang-orang kuat dan berpengaruh sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya, dan khalifah hanya sebagai boneka. Hal ini menimbulkan kecemburuan di pihak saudara-saudara khalifah, dan membuat keadaan pemerintahan diktator serta tidak stabil. Di samping itu, lemahnya para khalifah disebabkan oleh intrik di sekitar istana sendiri yang bersumber dari perasaan tidak adil atas pengangkatan khalifah berdasarkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, misalnya Nizar, kakak al Musta’li merasa kecewa karena adiknya yang diangkat sebagai khalifah padahal dirinya lebih berhak atas jabatan tersebut. Sehingga kemudian ia menjadi gerakan oposisi yang dikenal dengan gerakan Assasin. Gerakan ini berhasil membunuh dua khalifah, yakni al Musta’li dan al Amir.
b. Perpecahan dalam tubuh militer yang terdiri atas tiga unsur kekuatan. Pertama, unsur bangsa Berber yang sejak awal ikut berjuang mendirikan dinasti Fatimiyah. Kedua, unsur bangsa Turki yang berhasil masuk karena didatangkan oleh khalifah al Aziz. Ketiga, unsur kekuatan bangsa Sudan yang didatangkan oleh khalifah al Mustanshir. Tiga unsur ini selalu bersaing dan sesekali terlibat dalam peperangan antarmereka. Peperangan terbuka yang paling besar adalah peperangan antara Berber dan Turki. Sementara khalifah yang lemah tidak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya, wilayah-wilayah dinasti yang demikian luas secara berangsur-angsur berkurang karena memisahkan diri atau dikuasai oleh dinasti lain.
c. Bencana alam, yakni kekeringan yang melanda Mesir. Hal ini disamping menimbulkan penderitaan rakyat karena kelaparan, wabah penyakit, perampokan dan lainnya, juga bagi negara menyebabkan lumpuhnya perekonomian agraris yang hasilnya justru merupakan sumber devisa utama Mesir. Kondisi ini memaksa khalifah meminta bantuan kepada Konstantin Monomachus untuk mengirim bahan-bahan makanan ke Mesir.
Kelemahan-kelemahan seperti inilah yang mengakibatkan Fatimiyah menjadi rapuh sehingga mudah untuk ditaklukkan kekuatan lain yang lebih besar yang mengakibatkan runtuhnya dinasti ini.
C. Kesimpulan
Daulah Fatimiyah yang berarti suatu pemerintahan di bawah pimpinan/kekuasaan orang-orang Fatimi (keturunan Fatimah). karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Kemajuan yang terlihat pada masa Khilafah Fatimiyah antara lain dipertegas dengan beberapa faktor yakni, pemimpinnya bijaksana, militernya yang kuat, administrasi pemerintahannya baik, ilmu pengetahuan berkembang dan ekonomi stabil serta kehidupan masyarakat yang damai.
Faktor yang menyebabkan runtuhnya atu kemunduran daulah fhatimiyah adalah banyaknya khalifah yang diangkat pada usia masih sangat belia, konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara pejabat dan militer dan ketidakpuasan rakyat atas kebijakan pemerintah serta terjadinya perang wazir.
Sumber tulisan:
Dr.Ali Mufrodi.1997.Islam di Kawasan Kebudayaan Arab.Jakarta:Logos.Hal.116
http://latenrilawa-transendent.blogspot.com/2009/06/sejarah-khilafah-fatimiyah-mesir.html.Di akses kamis; 21 maret 2013, 14.11 WIB
http://referensiagama.blogspot.com/2011/02/dinasti-fatimiyah-berdiri-perkembangan.html.Di akses kamis; 21 maret 2013, 14.11 WIB
Tulisan ini lama dibuat saat masih duduk dibangku kuliah dan baru dimuat ke dalam blog semoga bermanfaat untuk para pembaca jangan lupa share like & komen.
0 komentar:
Posting Komentar