Minggu, 21 Februari 2021

// // Leave a Comment

Identifikasi Patologi Politik di Tengah-Tengah Lingkungan Masayarakat Sosial

 


Istilah patologi”, dalam bahasa Inggris adalah pathology, yang berarti ilmu tentang penyakit[1]. Dalam arti lainnya, Patologi ialah sebuah gejala penyakit yang terjadi, dimana sebagai akibatnya akan mengganggu dan mengakibatkan abnormal sebuah sistem.[2] Pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus dimaklumi bahwa tidak ada manusia yang menderita semua jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan.

Memahami dari beberapa pengertian akan patologi tersebut, maka menurut penulis, menyatakan bahwa patologi poltik adalah ilmu yang mempelajari gejala-gejala penyakit yang timbul ditengah-tengah aktivitas politik atau dalam proses politik sehingga mengakibatkan gangguan atau ketimpangan di dalamnya dan hal yang demikian mengandung nilai negatif. Dengan adanya ilmu dalam patologi politik itu sendiri, maka akan dapat diketahui berbagai gejala yang menyebabkan terjadinya patologi politik sehingga dengan begitu dapat memberikan harapan, yakni rumusan guna penyembuhan daripada patologi politik.
Oleh karena itu dapat diidentifikasi, paling tidak, ada tiga bentuk patologi politik[3] yang sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan ini menjadi tema besar sasaran reformasi, antara lain adalah:
Pertama, Transactional Politics. istilah transactional politics (politik transaksi/ janji-janji atau kesepakatan-kesepakatan antarpolitikus atau konstituen dan lain-lain), hingga para pengusaha yang berdiri di belakang sebagai penyandang dana yang juga mempunyai tujuan terselubung. Maka bentuk patologi politik ini dapat kita identifikasi bersama di lapangan atau di lingkungan masyarakat yakni adanya praktik politik uang pada pemilu legislatif 2014, berikut bukti yang menguatkan identifikasi tersebut;
 “Praktik politik uang masih masif terjadi dalam pemilu legislatif tahun 2014 dengan modus pemberian secara prabayar dan pasca bayar,” ujar anggota Divisi Korupsi Politik ICW di Jakarta, Senin (21/4).
Berdasarkan hasil pemantauan terakhir, setidaknya terdapat 313 temuan pelanggaran. Misalnya, pemberian uang sebanyak 104 kasus, pemberian barang sebanyak 128 kasus, pemberian jasa 27 kasus, dan penggunaan sumber daya negara sebanyak 54 kasus. Dengan kata lain, praktik politik uang secara langsung dalam Pileg 2014 lebih mendominasi.
Donal menuturkan temuan ICW tersebut menggambarkan betapa praktik politik uang dalam Pemilu masih terus terjadi, bahkan masif. Bila dibandingkan dengan Pemilu di tahun sebelumnya, Pemilu 2014 praktik politik uang meningkat tajam. Berdasarkan catatan ICW, Pemilu 2009 sebanyak 62 kasus. Sedangkan Pemilu 2004 sebanyak 113 kasus, Pemilu 2009 sebanyak 150 kasus, dan Pemilu 2014 sebanyak 313 kasus.
Ketua Divisi Korupsi Politik ICW, Abdullah Dahlan, menambahkan, praktik transaksional yang dilakukan para caleg dalam Pemilu 2014 terus terjadi. Menurutnya, hal itu membuktikan betapa vote buying mengkonfirmasi atas praktik transaksional. Tak kalah penting, lemahnya penegakan hukum terhadap perkara pelanggaran tindak pidana pemilu.[4]
Kedua, Abuse Of Power (penyalahgunaan kekuasaan), hal ini kerap kali terjadi, terlebih lagi jika kontrolnya lembek. [5] Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004  Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2  dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.

Ketiga, Conflict Of Interest, yaitu pertentangan kepentingan. Pada awalnya, waktu masih sebagai rakyat biasa, berkoar-koar ingin membela rakyat. Ironisnya, setelah berkuasa “niat”nya pun berubah. Sifat aji mumpung berlaku, dan kemudian muncul keinginan untuk melanggengkan kekuasaan, ingin menimbun harta, ingin mengajak kroni-kroni dan keluarga dan lain sebagainya, sehingga timbullah Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di tubuh birokrasi pemerintahan.[6] Menurut penulis, hal yang demikian akan menyebabkan hukum sebab akibat yang selanjutnya akan terjadi patologi birokrasi atau penyakit dalam birokrasi. Berbagai jenis atau bentuk penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat, antara lain ketika setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya tambahan, pelayanan yang kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lain-lain. Menghadapi berbagai penyakit birokrasi tersebut menyebabkan kinerja birokrasi sampai dewasa ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan. 








[1]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), h. 736. 
[3] Lihat, M. Sidi ritaudin, Kungkungan Patologi Politik Hancurkan Budaya Luhur Bangsa,hlm. 3-5

[5] Lihat, M. Sidi ritaudin, Kungkungan Patologi Politik Hancurkan Budaya Luhur Bangsa,hlm. 2
[6] Lihat, M. Sidi ritaudin, Kungkungan Patologi Politik Hancurkan Budaya Luhur Bangsa,hlm. 2

0 komentar:

Posting Komentar