Senin, 22 Februari 2021

// // Leave a Comment

Pemikiran Barat "Lenin"

 


BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Tidak adanya pemikiran Lenin, mungkin pemikiran Karl Marx sekarang hanya teringat oleh beberapa ahli filsafat dan sejarah ilmu ekonomi. Marx memang memikirkan kondisi-kondisi penghancuran kapitalisme dalm revolusi sosialis, tetapi Lenin-lah yang memikirkan bagaimana revolusi itu harus dipersiapkan. Lebih dari itu. Sesudah selama 15 tahun digembleng oleh Lenin, kaum Bolshevik melaksanakan revolusi itu. Lenin adalah pendiri Uni Soviet, Negara sosialis pertama didunia. Hanya 30 tahun kemudian Uni Soviet sudah menjadi Negara adi kuasa kedua didunia dan pusat sebuah gerakan yang kehadiranya menjadi tantangan di seluruh dunia. Pada puncaknya komunisme berkuasa dalam 18 negara yang mencakup sepertiga umat manusia.
Waktu Komunisme Soviet ambruk, 74 tahun sesudah revolusi oktober, sistem yang didirikan oleh Lenin menjadi simbol sistem kekuasaan totaliter ideologis tanpa tata dalam sejarah umat manusia.
2.      Rumusan Masalah
Masalah yang dikemukakan dalam makalah ini adalh sebagai berikut :
a.  Bagaimana cara lenin  mengaplikasikan pemikirannya dengan menggunkan berbagai cara demi mencapai tujuan?
        b.          Apa perbedaan pemikiran lenin dan marx?
         c.          Dampak kediktatoran proletariat Lenin?  
3.      Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :
      a.            Memahami kelahiran salah satu ideologi besar yang pernah membuat sebagian umat manusia merasakan bagaimana  hidup dibawah pemimpin diktator
      b.            Memahami jalan pikiran lenin
      c.            Mengetahui sejarah kehidupan lenin



BAB II
PEMBAHASAN

1.      BIOGRAFI  SINGKAT LENIN
Lenin, adalah nama singkat yang lebih populer dari valadimir ilyich ulyanov. nama Lenin sebenarnya adalah sebuah nama samaran dan diambil dari nama sungai Lena, di Siberia. Ia lahir pada tanggal 22 april 1870 di simbirsk.[1] Ia adalah seorang revolusioner komunis rusia, pemimpin partai Bolshevik, Perdana mentri Uni Soviet pertama, Kepala Negara de facto pertama Uni Soviet dan pencipta paham Leninisme. Ia adalah orang uni soviet yang berdarah yahudi. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintah dengan jabatan inspektur sekolah di daerah tempat tinggalnya yang meninggal di tahun 1886, saat lenin belum dapat mandiri. Lenin wafat tahun 1924 yaang diawali dengan serangan stroke setahun sebelum wafat.

2.      Filosofi                       
Lenin selalu menganggap dirinya sebagai pengikut setia marx, akan tetapi sebagai seorang prektisi, ia melakukan perannya di uni soviet bukan di kawasan eropa barat, tentu memiliki karakteristik sosial masyarakat yang berbeda. Oleh sebab itu, lenin melakukan modifikasi marxisme.
Lenin lebih kepada seorang yang aktif dari pada yang dikerjakan oleh marx yang pada umumnya lebih banyak mengemukakan pikiran. Sumbangan yang diberikan lenin dalam melanjutkan dan mengaplikasikan Marxisme-Komunisme lebih bersifat praktis. Lenin memiliki pandangan yang berbeda dengan marx. Bagi lenin, partai itu haruslah partai kader, artinya tidak perlu memilki masa yang besar tetapi anggotanya terdiri atas orang-orang yang revolusioner.[2] Partai nantinya yang akan menggerakkan kalangan pekerja atau buruh untuk melakukan perubahan secara revolusioner dan radikal. Orang-orang yang revolusionerr itu adalah orang yang aktif. Lenin berpandangan partai seperti inilah sebagai alat ampuh untuk merobohkan kekuasaan tsar di uni soviet.
Adanya sikap politik yang berbeda antara lenin dangan pemikiran marx mengenai pendirian sebuah partai, ini menyebabkan terjadinya dua pengelompokan di kalangan pengikiut revolusi di uni soviet. Pada tahun 1903, dengan pendirian lenin ini merela terpecah menjadi dua golongan, yakni golongan, Bolshevik (mayoritas) dan golongam Menshevik (minoritas). Lenin sendiri berada sebagai pemimpin di kalangan golongan Bolshevik, sebuah golongan yang militant dan sesuai dengan konsep lenin tentang partai. Pada tahun 1918, golongan ini membentuk partai komunis setelah kekuasaan Tsar di uni soviet runtuh dan kendali kekuasaan berada di tangan mereka
Model organisasi partai yang dibangun lenin dengan pengikutnya, pada umumnya menjadi contoh yang ditiru oleh pengikut Komunis-Marxis dalam mendirikan partai di Negara di luar uni soviet. Lenin juga mengemukakan kalangan petani dapat memberikan sumbangan berharga, sebab revolusi yang dipimpin kelas pekerja itu akan menghasilkan diktator demokrasi yang revolusioner dari proletar dan petani,” Jadi tidak hanya dipimpin kelas pekerja saja.
Sumbangan pemikiran lenin yang diterima oleh semua orang komunis dewasa ini; kediktatoran proletariat hanya mungkin melalui kediktatoran partai komunis. Jika tdak ada kediktatoran partai komunis, maka tidak ada kediktatoran proletar, sebab menurut lenin; orang-orang komunis mengetahui apa yang terkandung dalam kepentingan utama golongan buruh. Mereka mengetahui lebih baik daripada kaum buruh sendiri. Jika mereka mengikuti keinginan yang lain, mereka akan kehilagan garis revolusi. Akan tetapi, partai komunis yang telah mempelajari sejarah, yang paham akan materialisme historis, perjuangan kelas, dan teori nilai, mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Kediktatoran partai hanya mungkin melalui kediktatoran politbiro, ini mrupakan doktrin sentralisme demokrasi.

3.      Catur Perpolitikan
Masalah besar yang dihadapi oleh lenin waktu terjun di gelanggang perjuangan politik adalah apakah di rusia sosialisme harus dicapai melaui jalan yamg sama dengan di Negara-negara industry maju, ataukah ada sebuah jalan khusus, langsung dari feodalisma ke sosialisme. Sebagai seorang marxis, bagi lenin jawabannya jelas: tak ada jalan khusus rusia ke sosialisme. Di rusia pun sosialiisme hanya dapat tercapai melalui sebuah revolusi anti-kapitalis. Tahap kapitalisme tidak dapat di loncati.
Apakah hal iti berarti bahwa revolusi sosialis di rusia pun sosialisme harus menunggu puluhan tahun sampai kapitalisme pada akhir abad ke 19 baru mulai meluas di rusi sudah matang?  Lenin menolak kesimpulan ini. Untuk membenarkan penolakan itu lein kemudian merumuskan teorinya tentang “imperialism sebagai tahap akhir kapitalisme”. Mengikuti Robson dan Hilferding,  lenin berpendapat bahwa imperialisme merupakan sarana Negara-negara kapitalis maju untuk sementara dapat mengekspor ketegangan-ketegangan internal mereka ke Negara-negara pra-kapitalis. Tetapi dengan demikian itulah kesimpulan asli lenin- revolusi sosialis jusru lebih mungkin akan pecah di Negara-negara pra-kapitalis. Negara-negara itu adalah mata rantai yang paling lemah dalam sistem kapitalis internasional. Jadi revolusi sosialis akan pecah bukan di pusat kapitalisme, melainkan di pinggirannya. Dengan demikian sebuah revolusi sosialis di rusia justru sangat mungkin, dan revolusi itu diharapkan akan menjadi pemicu revolusi sosialis internasional.
Oleh karena itu,  lenin mati-matian menentang pendapat di kalangan Menshevik bahwa untuk memjatuhkan feodalisme dan mendirikan pemerintah demokratis, kelas buruh harus terlabih dahulu bergandengan tangan dengan borjuasi. Menurut lenin, proletariat harus bersekutu dengan kelas borjuasi, tetapi sebagai yang memimpin gerakan revolusioner. Apabila kekuasaan Tsar sudah dihancurkan,  proletariat lalu sudah berada dalam posisi untuk dalam waktu tidak terlalu lama meneruskan revolusi dan mengakhiri kekuasaan borjuasi. Karena itu,  lenin selalu menegaskan bahwa proletariat harus dibentuk sebagai kekuataan politik mandiri yang tidak hanya melawan kekuasaan feodal Tsar, melainkan senantiasa sadar bahwa musuhnya yang sebenarnya adalah para pemilik modal. Gagasan yang bagaikan benang merah ditemukan dalam segala tulisan, seruan dan pidato lenin adalah peningkatan kesiap-siagaan dan tekad untuk berevolusi dalam gerakam buruh rusia. Revolusi sosialis di rusia lalu akan menyulut revolusi sosialis sedunia.
Namun usaha mempersiapkan kaum buruh bagi revolusi mengalami hambatan dari suatu pandangan yang cukup luas dipegang di kalangan kaum sosialdemokrat, yang oleh para pengkritiknya disebut sebagai “ekonomisme”. Menurut ekonomisme, kelas buruh hendaknya membatasi diri pada perjuangan di bidang ekonomi, sedangkan perjuangan politik diserahkan terlebih dahulu kepada borjuasi saja. Jadi cukup kalau kaum buruh memperjuangkan kepentingan-kepentingan langsung mereka melalui serikat buruh, misalnya untuk memperoleh upah lebih tinggi. Tujuan perjuangan politik, penggantian feodalisme dengan demokrasi, adalah kepentingan borjuasi.
Ekonomisme itu menjadi sasaran kemarahan lenin dalam bukunya Berbuat Apa? (1902). Soalnya, lenin khawatir bahwa apabila kaum buruh membatasi diri pada perjuanganan ekonomis, mereka akhirnya akan kerasukan ideologi politik borjuasi. Untuk melawan bahaya itu; kaum buruh juga harus diberi kesadaran politik dan melakukan perjuangan di medan politik, misalnya melalui partai buruh. Namun kesalahan terbesar ekonomisme adalah pengandaian bahwa semangat revolusioner-sosialis kaum buruh akan berkembang dengan sendirinya melalui pengalaman perjuangan di bidang ekonomi. Bagi lenin harapan itu sama dengan percaya bahwa kaum buruh akan memperoleh kesadaran sosialis secara spontan.  “Kesalahan dasar semua kaum ekonomis adalah keyakinan bahwa kesadaran politik kelas buruh dapat dikembangkang dari dalam, seakan-akan dari perjuangan ekonomis mereka” (Berbuat Apa, lenin 1970 I, 98).  Lenin mengejek ekonomisme sebagai “pemujaan spontanitas” yang menganut” kebijakan asal-asal ikut saja” (ib., 77). Menurut lenin, kalau kaum buruh dibiarkan mengikuti spontanitas mereka saja, mereka hanya mengembangkan sebuah “kesadaran trade-unionistik’. Tetapi trade-unionisme berarti berfikir menurut polo borjuasi. “Hanya perlu sedikit pemikiran untuk memahami mengapa setiap pemujaan spontanitas gerakan masa,  setiap prendahan politik sosialisdemokrat ke politik trade-unionalistik justru akan berarti mempersiapkan tanah bagi pengalihan gerakan buruh menjadi alat demokrasi borjuis. Gerakan buruh spontan hanya mampu menghasilkan trade-unionisme…, tetapi trade-unionistik kelas buruh adalah politik borjuis kelas buruh” (ib., 111)
Ada dua alasan mengapa lenin tidak percaya bahwa sosialis-revolusioner dapat berkembang secara spontan.  Pertama, karena kepentingan yang langsung di rasakan oleh para buruh terarahkan pada kepentingan-kepentingan langsung mereka dan bukan pada revolusi sosialis. Maka menurut lenin buruh yang masuk ke dalam partai dan menunjukkan kemampuan berpolitik sebaiknya segera dicopot dari proses produksi dan dididik menjadi orang revolusioner purna waktu. Kedua, semangat revolusi sosialis mengendaikan sebuah teori revolusioner. Teori itu adalah sosialisme ilmiah. Tapi tidak mungkin kaum buruh yang hanya berpendidikan rendah secara spontan dapat sampai ke sosialisme ilmiah itu. “Sejarah semua Negara membuktikan bahwa kelas buruh dari kekuatannya sendiri hanya dapat menghasilkan sebuah kesadaran kaum buruh tidak boleh dibiarkan berkembang menurut irama pengalaman perjuangan mereka sendiri adalah bahwa sosialisme berdasarkan sebuah teori ilmiah dan teori ilmiah hanya dapat dikembangkan dan dipahami sepenuhnya oleh para ilmuwan, artinya, oleh kaum intelektual. Itulah pengendalian dasar lenin.
Dari kenyataan itu lenin menarik kesimpulan logis bahwa kesadaran revolusioner harus dimasukkan ke dalam kelas buruh dari luar. Dalam keyakinan ini lenin mengikuti karl kautskty yang menulis pada tahun 1901: “kesadaran sosialis modern hanya dapat muncul atas dasar pengertian ilmiah mendalam. Adapun ilmu ekonomi kontemporer merupakan prasyarat produksi  sosialis, mirip seperti juga tektnik kontempoorer, hanya proletariat debgan seegala upaya tidak mampu untuk mencapai dua-duanya; ilmu ekonomi dan teknik merupakan  hasil proses sosial. Namun yang mengembangkan ilmu pengetahuan bukan proletariat, melainkan kaum intelgensia borjuis. Maka sosialisme modern lahir dalam beberapa anggota lapisan itu dan baru oleh mereka sosialisme diteruskan kepada orang-orang proletar yang unggul secara intelektual yang lalu memasukkannya kedalam perjuangan kelas proletariat di mana keadaan mengizinkannya”(dikutip dari Berbuat Apa, lenin 1970 I , 67)
Dengan demikian jelaslah peranan kaum intelagensia dalam pembentukan kesadaran sosialis. Hanya dengan dipimpin oleh mereka kelas buruh dapat menjadi kelas revolusioner. Bentuk organisatoris kepemimpinan kelas adalah partai revolusioner. “Perjuangan spontan proletariat menjadi ‘perjuangan kelas’ sungguhan selama perjuangan itu dipimpin oleh sebuah organisasi kaum revolusioner yang kuat” (ib., 143). Oleh karena itu sebagian besar pemikiran lenin menyangkut bentuk dan peran “partai revolusioner” itu. Tesk kunci lenin tentang paham partai jenis baru itu adalah Berbuat Apa?
Partai jenis baru itu harus berbeda dari sebuah organisasi buruh pada umumnya. Melawan Martov dan para pemimpin Partai Sosialdemokrat lain yang dalam kongres Partai 1903 akan membentuk sayap Menshevik, lenin menegaskan bahwa partai itu memerlukan struktur organisatoris sedemikian rupa, hingga betul-betul dapat memimpin perjuangan buruh. Partai itu tidak boleh terbuka luas, melainkan terdiri atas orang-orang yang “pekerjaan pokoknya adalah kegiatan revolusioner” (ib., 134). Partai itu harus merupakan sebuah organisasi tertutup dan konspiratif yang terdiri atas orang-orang revolusioner purna waktu, dengan tidak membedakan antara kaum buruh dan kaum intelaktual (ib., 123). “Satu-satunya prinsip organisasi sungguhan bagi para peserta gerakan kita harusnya: Konspirasi seketat mungkin, pembentukan orang revolusioner profesional. Apabila ciri-ciri itu terdapat, yang jadi terjamin adalah sesuatu yang lebih dari pada sekedar ‘demokratisme’: kepercacayaan sepenuhnya antar-kaum revolusionersebagai kawan” (ib.,148).
Dari situ lenin menarik kesimpulan: “perjuangan spontan proletariat akan menjadi ‘perjuangan kelas’ sungguh-sungguh selama perjuangan itu dipimpin oleh sebuah organisasi kaum revolusioner yang kuat” (ib.,143). Lenin ssangat menegaskan bahwa partai itu harus disusun secara sentralistik dan birokratis dalam arti bahwa mutlak harus taa terhadap unsur-unsur atas. Apalagi karena kaum intelektual, lain daripada kaum buruh, cenderung suka tidak disiplin dan tidak mantap dalam sikap politik ( Maju Satu Langkah, Mundur Dua Langkah, lenin I, 216). Maka mereka harus diikatkan ka dalam tertib partai: ”Birokratismee melawan demorkratisme, artinya ya sentralisme melawan otonomisme, itu lah prinsip organisasi kaum sosialdemokrat opurtunis” (ib., 211) partai harus “dibangun dari atas kebawah”. Pandangan bahwa partai harus dibangun dari bawah adalah “demokratisme” keliru (ib.).
Namun hal itu tidak berarti berarti bahwa partai boleh lepas dari kaum buruh. Melwan kritik kaum Menshevik bahwa paham partai perintis merupakan “Blanquisme” dan “Yakobinisme”, dimana sebuah organisasi teroris kecil berkonspirasi untuk menggulingkan struktur kekuasaan, lenin menegaskan bahwa partai harus bersatu dengan kaum buruh. “Orang Yakobin yang secara tak terpisah bersatu dengan organisasi proletariatya yang sadar akan kepentingan-kepentingannya sebagai kelas – itulah sang Sosialdemokrat revolusioner” (ib. 199).ib. 199). Ang khas bagi konsepsi lenin adalah kombinasi partai sebagai organisasi konspiratif ketat dengan masa buruh dan kelas revolusioner lain.
Partai itu harus dipimpim dengan ketat dari atas. Sebagai organisasi terlarang yang terpaksa bekerja dibawah tanah, kehidupan partai harus diatur dengan disiplin baja. Pimpinan pusat memiliki wewenang mutlak. Organisasi partai harus mirip dengan militer. Berulangkali lenin mengaskan bahwa apabila partai berada dalam situasi gawat pemerintahannya harus berpola sentralisme mutlak. Mencoba melaksanakan “demokratisme”- yang cirri utamanya adalah keterbukaan dan pemiliha semua fungsionaris oleh para anggota partai--- dalam situasi partai ditindas oleh pemerintah otokratik Tsar akan berarti bunuh diri (Berbuat Apa?, lenin 1970 I, 145).
Namun dalam keadaan lebih biasa prinsip dasar organisasi partai adalah sentralisme demokrtis. Begitu dalam statute Partai Sosial democrat Russia yang disahkan pada tahun 1906 oleh Kongres Partai ke-4 dinyatakan bahwa “ semua organisasi partai berdasarkan prinsip sentralisme demokratis “[dikutip dari kernig II, 337]. Dan 14 tahun kemudian Lenin menegaskan kepada Komintern bahwa “partai-partai yang termsuk dalam Asosiasi Komunis Internasional harus diorganisasi menurut prinsip-prinsip sentralisme demokratis “[Lenin 1966, Jl.31, 210]. Maksud sentralisme demokratis itu sederhana :” Demokratis” berarti bahwa dalam kongres partai sekali setiap beberapa tahun para anggota partai, dan para pemimpin partai dipilih dalam kongres itu. Sesudah itutetap berlaku sentralisme, artinya partai harus taat pada keputusan “komite sentral” yang memiliki wewenang mutlak untuk menentukan kebijakan, strategi dan taktik perjuangan partai.

4.      Lenin dan Agama
Kita melihat bahwa sejak Engels dan Lenin dasar pandangan dunia proletariat adalah materialisme. Dengan demikian “sosialisme ilmiah” versi Lenin tidak mempunyai tempat bagi agama. Materialisme berarti kepercayaan bahwa semula hanya ada materi dan apa saja yang ada berkembang dari materi. Padahal Allah memang tidak bermateri dan bahkan oleh kaum beriman diyakini menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk seluruh materi. Suatu pandangan yang berpendapat bahwa segala apa yang ada berasal dari materi dengan sendirinya menyangkal Allah dan penciptaan. Materialisme selalu mengandung ateisme. Dan kalau tidak ada Allah, tidak dasar bagi agama,. Lenin menulis:’proletariat modern mengaku menganut sosialisme melawan kabut keagamaan dan membebaskan buruh dari imannya akan hidup alam baka dengan mempersatukan meraka dalam perjuangan di hidup ini demi kehidupan lebih baik di dunia.”[Lenin 1956,7].
Dalam praktek politik Lenin selalu bersikap pragmatis. Juga dalam hal agama. Dalam sebuah karangan dari tahun 1905 tentang”sosialisme dan agama” [Lenin 1956,6-11] Lenin menjelaskan posisinya. Merebut hati buruh adalah lebih penting dari ada menyebarkan ateisme. Oleh karena itu orang yang bukan ateis pun boleh masuk partai komunis. Partai harus memperhatikan prasangka-prasangka religius kaum buruh, jangan sampai mereka terasing dari partai karena sikap partai yang anti-agama. Dalam arti ini Lenin menyatakan mengakui kebebasan beragama. Akan tetapi propaganda komunis niscaya juga memuat propaganda ateis.
Namun mengenai prinsip ateisme Lenin tidak mengenal kompromi. “Bagi partai proletariat sosialis agama bukan urusan pribadi. Partai kita merupakan serikat pejuang demi kebebasan kelas buruh yang sadar akan kedudukan kelas mereka dan progresif. Serikat semacam itu tidak dapat dan tidak boleh bersikap acuh tak acuh terhadap ketidaktercerahkanan, ketidaktahuan dan kebodohan dalam bentuk kepercayaan religius”[Lenin 1956,9].dalam negara yang dikuasai oelh partai komunis, agama tidak boleh berperan sama sekali. Dalam kenyataan, gereja ortodoks Russia sesudah revolusi oktober segera diserang. Hak milik Gera dan sekolah-sekolahnya diambil alih. Gereja dilarang untuk melakukan kegiatan apa pun diluar gedung gereja; tidak boleh menerbitkan buku dan majalah; pelanjaran agama dilarang dan ditempat pendidikan calon pastor ditutup. Kebanyakan biara diwilayah Uni Soviet ditutup. Ribuan pastor,biarawan dan biarawati dibunuh [Bochenski/Niemeyer 1958,54322].
Lenin sendiri sudah tidak beragama sejak umur muda. Baginya ateisme begitu biasa sehingga tak pernah dianggap perlu dibuktikan. Berbeda dengan Karl Marx yang juga seorang ateis, tetapi bersikap dingin terhadapa agama karena menganggapnya masalah sekunder, Lenin rupa-rupanya secara pribadi benci terhadap agama. Kritik agama Lenin tajam: “Agama adalah candu bagi rakyat. Agama adalah semacam wisky rohani murahan, didalamnya para budak modal menenggelamkan muka manusianya, hak mereka atas hidup yang masih pantas bagi manusia “[Lenin 1956,7]. Yang menarik dalam kutipan ini adalah bahwa Lenin menggantikan istilah Marx “ agama candu rakyat” dengan “agama candu bagi rakyat”. Bagi Marx agama berfungsi sebagi hiburan dalam situasi buruk, sedangkan menurut Lenin agama menjadi sarana yang dengan sengaja dipakai oleh kelas-kelas berkuasa untuk menipu kleas-kelas dibawah. Agama dianggap sebagai sarana kekuasaan. “Marxisme menganggap semua agama dan gereja dewasa ini, segala dan segenap organisasi religius selalu sebagai alat reaksi borjuis yang dipakai untuk melindungi eksploitasi dan mengelabuhi kelas buruh “[Lenin 1956,20].Dan kepada penyair komunis Maxim Gorkij yang bergabung dengan sebuah kelompok agama bebas, Lenin menulis: “Justru karena segenap gagasan religius, segenap paham tentang Allah terlalu amat memuakkan, padahal gagasan itu diterima oleh borjuis demokratis dengan amat toleran........justru karena itu agama merupakan barang memuakkan yang paling berbahaya,wabah yang paling menjijikkan.......”[Lenin 1956,45]. Sejak Lenin, kebencian terhadap agama menjadi ciri khas semua rezim komunis dikemudian hari.

5.      Negara Dan Kediktatoran Proletariat  
Penjajahan Lenin kedalam wilayah filsafat tadi menunjukkan kekhasan sosok Lenin: Pemikirannya seluruhnya terfokus pada revolusi sosialis. Ia berfilsafat bukan demi filsafatnya sendiri, melainkan ia berpendapat bahwa hanya sebuah pandangan dunia menyeluruh dapat mengamankan kesadaran revolusioner proletariat. Mempersiapkan revolusi sosialis secara kongkret berarti mempersiapkan proletariat supaya dapat menghancurkan kekuasaan Tsar, merebut kekuasaan ke dalam tangannya sendiri dan menghancurkan borjuasi. Dalam arti ini pemikiran Lenin seratus persen pragmatis. Bukan kecocokan dengan teori Marxisme, melainkan kecocockan dengan tercapainya tujuan, yaitu revolusi sosialis, yang merupakan kriteria pemikiran yang tepat baginya. Maka Lenin di satu pihak bersikap keras. Terutama mengenai peran partai dan kesadaran revolusioner ia tidak mengenal kompromi. Dilain pihak ia bersikap fleksibel dan tidak dogmatis. Apa pun yang mendukung perebutan kekuasaan ditangan kelas proletariat dapat dibenarkannya. Lenin menyadari bahwa proletariat Russia terlalu kecil untuk sendirian mengahncurkan kekuasaan Tsar dan Borjuasi. Oleh karena itu ia bicara tentang koalisi proletariat dengan kelas tertindas terbesar di Russia, yaitu kaum tani, dan dengan borjuasi kecil, yati orang-orang kecil dikota yang hidup pas-pasan. Sesudah pemerintahan Tsar digulingkan pada bulan Pebruari 1917 dimana kaum Bolshevik tidak memainkan peranan yang berarti-Lenin merumuskan program politik partai Bolshevik yang bermaksud mencari dukungan dari dua kelas penting itu. Progran itu disingkat dalam semboyan “roti dan perdamaian”(chleh da mir) dan terdiri dari tiga tuntutan: Akhirilah perang (Perang Dunia I) sekarang juga!, negarakan perusahaan-perusahaan industri, dan bagikan tanah para tuah rumah kepada para petani.Lenin tidak pernah mengkompromikan prinsipnya bahwa revolusi harus dipimpin oleh proletariat dan sesudah revolusi proletariat harus memegang hegemoni atas kelas-kelas revolusioner lain, maka Lenin tanpa ragu-ragu membubarkan persekutuan itu pada waktu kaum tani mulai melawan kebijakan ekonomis pemerintah komunis. Lenin tidak pernah menyembunyikan bahwa apa yang didirikannya sesudah revolusi sosialis bukan” kediktatoran proletariat,kaum tani miskin dan borjuasi kecil”, melainkan “kediktatoran proletariat”. Kekalahan besar partai Bolshevikdalam pemilihan bulan November 1917 untuk Konstituante Russia sedikitpun tidak merisaukan Lenin. Ia memang tidak pernah mengakui prinsip mayoritas. Masih sebelum Revolusi Oktober Lenin menulis: “Dimasa revolusioner tak cukup mempermaklumkan kehendak mayoritas-bukan, disaat yang menentukan orang harus membuktikan diri sebagai yang lebih kuat, orang harus menang....kita melihat banyak contoh bagaimana sebuah minoritas yang terorganisasi lebih baik, sadar akan tujuannya dan bersenjata dengan lebih baik memaksakan kehendaknya pada mayoritas dan mengalahkannya.”[Lenin 1966,25,203].
Sikap pragmatis Lenin dala hal kemungkinan persekutuan antara proletariat dan kelas-kelas tertindas lainnya kemudian menjadi bagian penting ajaran Marxisme Leninisme tentang “strategi dan taktik perjuangan revolusioner”dan “anti-fasis”lain. Namun apabila dianggap lebih tepat secara strategis atau taktis, kaum komunis tanpa ragu-ragu akan menghantam para bekas sekutu sebagai “kaum fasis-sosial”. Ditingkat internasional kebijakan persekutuan itu diwujudkan oleh Moskwa dengan mengusahakan aliansi-aliansi strategis, misalnya dengan negara-negara bekas jajahan atau “non-blok” melawan “kubu neo-kolonialis dan neo-imperalis”. Namun prinsip hegemoni partai komunis dalam negara komunis tidak akan pernah dilepaskan.
Adalah menarik bahwa Lenin sampai pecahnya Revolusi Oktober tidak pernah menulis apaun tentang susunan masyarakat sosialis sesudah revolusi. Masalah yang semakin mendesak untuk dipikirkan pada tahun revolusi 1917 menyangkut negara. Sesudah revolusi sosialis negara harus diapakan? Pertanyaan itu dijawab Lenin dalam brosur “Negara dan Revolusi”.seperti biasanya, Lenin memaparkan pandanganya dengan menghantam pandangan-pandangan yang dianggapnya akan mengancam daya revolusioner kelas buruh. Dalam “ Negara dan Revolusi” dua pihak diserang dengan ganas. Pertama, kaum sosialdemokrat yang mengharapkan bahwa sosialisme dapat diwujudkan melalui mekanisme demokratis. Kedua,  kaum anarkis yang menuntut agar sesudah revolusi negara langsung dihapus.
Pandangan pertama waktu itu cukup luas diterima dalam partai sosial demokrat Jerman. Di satu pihak semakin banyak penganut sosialisme memang meyakini demokrasi. Di lain pihak, mereka berargumentasi bahwa menurut Karl Marx, kapitalisme, karena dinamikanya sendiri, akan menyebabkan semakin banyak warga masyarakat tersapu kedalam proletariat, sehingga lama kelamaan proletariat dengan sendirinya akan menjadi mayoritas. Begitu proletariat menjadi mayoritas, proletariat akan menang dalam pemilihan umum dan dengan demikian dapat mengambil alih kekuasaan negara secara demokratis, sehingga mereka dapat menghapus hak milik atas alat-alat produksi melalui undang-undang biasa. Dengan demikian sosialisme dapat diwujudkan tanpa perlu memakai kekerasan. Pandangan itulah yang pada akhir Perang Dunia I mendasari perpecahan partai-partai  sosialdemokrat kedalam sayap mayoritas yang moderat dan demokratis, dan sayap komunis yang mengikuti pandangan Lenin.
Lenin menolak jalan demokratis mentah-mentah. Baginya, membatasi perjuangan kelas pada kampanye pemilihan umum berarti mengkhianati sosialisme dan revolusi. Lenin tidak pernah percaya  kepada demokrasi yang menjadi cita-cita borjuasi. Anggapan bahwa pemilihan umum betul-betul bisa mengungkapkan ilusi khas borjuasi picisan. Demokrasi hanyalah tipuan belaka yang dipakai oleh borjuasi untuk merusak semangat revolusioner proletariat, dan hanya sebuah alat untuk menyelamatkan kapitalisme. Pendapat kedua yang ditolak tega oleh Lenin adalah pandangan kaum anarkis. Anggapan mereka, bahwa sesudah kemenangan revolusi sosialis negara harus dihapus, menurut Lenin naif. Negara memang akan layu dan hilang apabila sosialisme sudah seluruhnya mantap, tetapi kapan dan bagimana hal itu terjadi belum bisa ditentukan. Negara baru akan menghilang apabila sudah tidak dibutuhkan lagi. Padahal sesudah revolusi kekuasaan negara masih sangat dibutuhkan, karena tiga alasan. Pertama, pembangunan sosialisme masih terancam oleh kekuatan kapitalis disekeliling yang mengahancurkannya. Kedua, sesudah revolusi disamping proletariat masih terdapat pelbagai kelas sosial lain yang dapat saja mengancam kemenangan proletariat. Negara ditangan proletariat masih diperlukan untuk memastikan hegemoninya atas kelas-kelas itu. Alasan ketiga adalah bahwa kemenangan revolusi proletariat belum berarti bahwa sosialisme sudah langsung terwujud.
Lenin membedakan dua tahap perwujudan sosialisme. Dalam tahap pertama, yang diubah secara radikal baru tatanan hak milik: Hak milik pribadi atas alat-alat produksi diganti dengan “milik sosial”, artinya sarana-sarana produktif seperti pabrik,toko, bengkel dan tanah pertanian menjadi hak milik negara atau koperasi. Keadaan itu masih ditandai oleh kekurangan dalam segala bidang. Dalam tahap itu masih berlaku prinsip” kepada siapa menurut kecakapannya, kepada siapa menurut prestasinya” [Negara dan Revolusi,Lenin 1966,344]. Perbedaan dalam kebutuhan dan kemampuan bekerja orang belum bisa diperhitungkan, sehingga pada permulaan masih akan ada ketidaksamaan material dan banyak kekurangan.[ib.341] Menurut Lenin pada tahap itu perlu pendekatan yang realis.pembangunan sosialisme harus sesuai” dengan kodrat manusia seperti apa adanya, kodrat manusia yang tidak jalan tanpa ketaatan, kontrol dan menejer-menejer”, [ib.307] oleh karena itu, aparat penindas negara masih dperlukan. Namun akan layu menghilang sama sekali apabila masyarakat dapat menerapkan peraturan: dari siapa menurut kemampuannya, bagi siapa menurut kebutuhann-kebutuhanya. [ib.344]
Jadi menurut Lenin negara jelas masih akan diperlukan unutk waktu yang sama. Pandangan ini menunjukkan bahwa Lenin memahami negara pada hakikatnya sebagai aparat penindas.”Negara itu pengorganisasian khusus paksaan; negara adalah pengorganisasian kekerasan demi penidasan salah satu kelas. Gagasan dari tradisi Aristoteles dan Hegel menyatakan bahwa negara juga merupakan sesuatu yang pada hakikatnya  positif, sebuah tatanan rasional yang ditaati karena sesuai dengan kebutuhan dan rasionalitas para warga, dimana ancaman penindasan hanya sebagai penunjang. Gagasan seperti itu benar-benar asing bagi Lenin. Paham negara berat sebelah semata-mata sebagai alat penindas itu kiranya dapat menjelaskan  ketidakmampauan komunisme untuk mewujudkan pola kenegaraan, termasuk aparat pemaksa (yang memang kiki bagi negara),yang rasional dan berwibawa berdasarkan pengakuan masyarakat dan bukan hanya berdasarkan daya ancamnya.
Lalu negara macam apa yang masih diperlukan sesudah revolusi sosialis? Disini Lenin dengan sangat tajam melawan pandangan Karl Marx Kautsky. Melawan “ demokratisme” kaum sosialdemorat tadi kautsky memang mempertahankan bahwa sosialisme hanya dapat diciptakan lewat revolusi, akan tetapi revolusi sosialis itu dipahami secara politis dalam arti bahwa melalui revolusi proletariat sekedar merebut kekuasaan negara, negara borjuis, lalu memakai kekuatan negara itu untukl mendirikan sosialisme. Jadi aparat negara sendiri dibiarkan berjalan terus, yang diganti adalah pemerintah. Sama seperti setiap pemerintahan demokratis, pemerintah yang dipegang oleh proletariat akan menciptakan struktur-struktur sosialis melalui undang-undang.
Tetapi, menurut Lenin, membebaskan kaum buruh dan menmbangun sosialisme dengan memakai negara borjuis adalah mustahil. Soalnya, sesudah proletariat merebut kekuasaan, negara borjuis masih tetap dikendalikan oleh birokrasi lama yang akan menggagalkan segala usaha untuk betul-betul menjatuhkan kekusaan borjuasi. Karena itu, tidak cukup lah kalau negara borjuis hanya dikuasai, dia harus dihancurkan. Tegas-tegas Lenin menyatakan bahwa menurut Karl Marx “ kelas pekerja harus membongkar, menghancurkan’ aparat negara siap pakai’ dan tidak hanya membatasi diri untuk menguasainya”. Kata menghancurkan terus- menerus diulang-ulang Lenin.“Revolusi proletariat tidak mungkin tanpa penghancuran paksa aparat negara borjuis dan tanpa penggantianya oleh aparat negara baru yang menurut kata-kata Engels ‘ sudah bukan negara dalam arti yang sebenarnya”.karena itu, perlu langsung menghancurkan aparat birokrasi lama dan membangun aparat baru”.
Jadi tujuan langsung revolusi sosialis adalah penghancuran negara borjuis, tetapi, berbeda dengan harapan naif kaum anarkis, tidak untuk menghilangkan negara sama sekali, melainkan untuk langsung membentuk negara penindas baru ditangan proletariat. Dengan kata lain, hasil revolusi sosialis adalah kediktatoran proletariat.
Istilah kediktatoran proletariat berasal dari Karl Marx (dalam kritik dan progran ghota). Marx tidak memberi banyak keterangan, tetapi maksudnya cukup jelas. Dalam tahap langsung sesudah revolusi sosialis sisa kapitalisme masih merupakan ancaman terhadap kemenangan sosialisme. Maka kaum buruh yang baru saja merebut kekuasaan negara perlu memakai kekusaaan itu untuk merebut segala usaha kaum kapitalis untuk berkuasa kembali. Begitu ancaman sisa kapitalisme tidak ada lagi, kediktatoran proletariat dengan sendirinya berakhir pula karena tidak ada yang perlu didiktatori lagi.
Inilah paham yang dipakai oleh Lenin untuk melegimitasikan pemakaian kekerasan oeh negara komunis sesudaha revolusi sosialis. Apa itu kediktatoran proletariat dijelaskan Lenin dalam polemiknya “ Revolusi proletar dan Renegat Kautsky” dari tahun 1918, yang merupakan jawaban Lenin atas kritik Kautsky terhadap sistem Soviet (dalam tulisannya Kediktatoran proletariat). Dengan kata “kediktatoran” Lenin mau membuat jelas posisinya tentang negara pasca revolusi. Untuk merampungkan penghancuran kapitalisme dan penciptaan masyrakat sosialis, proletariat harus memegang kekuasaan negara. Yang mau ditegaskan Lenin adalah bawa negara proletariat ini jangan dipahami menurut demokratisme kaum sosialdemokrat di barat. “ Revolusi berarti bahwa proletariat akan menghancurkan’ aparat administratif’ dan seluruh parat negara, dan menggantikannya dengan aparat aru yang terdiri dari buruh-buruh bersenjata” [Negara dan Revolusi, Lenin 1966,360]. Kediktatoran berarti bahwa prletariat akan mengambil segala tindakan tanpa kenal ampun untuk menghancurkan segenap ancaman dan perlawanan terhadap sosialisme.” Kediktatoran adalah kekuasaan yang langsung berdasarkan paksaan, yang tidak terikat sama sekali pada undang-undang. Kediktatoran revolusioner proletariat adalah kekuasaan yang disebut dengan paksaan oleh proletariat dari borjuasi dan dipertahankan, sebuah kekuasaan yang tidak terikat oleh undang-undang apapun “[Revolusi Proletar dan Renegat Kautsky, Lenin II, 285].
Akan tetapi, siapa yang secara nyata harus menjalankan kediktatoran proletariat? Adalah cukup menarik bahwa Lenin dalam Negara dan Revolusi tidak membahas sedikit pun peran partai dalam negara pasca revolusi. Dalam kenyataan, sesudah kaum Bolshevik merebut kekuasaan dalam Revolusi Oktober, peran dewan buruh dan serdadu yang begitu penting didalamya justru dimatikan. Tak pernah soviet-soviet itu menentukan segala-galanya secara eksklusif dan diktatoris adalah Komite Sentral Partai. Dapat diperkirakan bahwa dalam situasi yang pada permulaan masih sangat kacau, dimana kekuasaan komunis masih terancam, harapan bahwa partai akan melepaskan kekuasaan dari tangannya tidak realistik. Namun yang tragis adalah bahwa partai komunis kemudian tidak pernah melepaskan monopoli kekuasaan itu. Begitu pula di semua Negara komunis tanpa kecuali, kekuasaan selalu dijalankan secara sentral dan total oleh komite sentral partai komunis, bahkan dalam kenyataan oleh polit bironya.
Akan tetapi, dalam negara dan revolusi sebenarnya terdapat cukup banyak petunjuk bahwa lenin sebelum revolusi oktober sudah menyadari bahwa kediktatoran   proletarian dalam kenyataan akan dijalankan oleh partai. Lenin selalu menegaskan bahwa peralihan kesosialisme sesudah revolusi harus dipimpin oleh proletariat: proletariat membutuhkan kekuasaab negara, paksaan terorganisasi dan tersentralisasi, pengorganisasian kekerasan, demi tujuan penghabcuran perlawaran para pengisap dan untuk tujuan memimpin masa besar rakyat- kaum tirani, borjusi kecil, semi proletariat-dalam pekerjaan mengorganisasikan ekonomi sosialis” (negara dan resolusi, Lenin 1966,288). Tetapi ia langsung melanjutkan: “ dengan mendidik partai kaum buruh, Marxisme mendidik barisan depan proletariat yang mampu untuk merebut kekuasaan dan untuk mengantar seluruh rakyat kesosialisme, mampu untuk memimpin dan mengorganisasikan tatana baru, untuk menjadi guru, pandu dan pemimpin semua [orang] yang bekerja dan terekploitasi dalm tugas membangun kembali kehidupan sosial tanpa borjuasi dan melawan borjuasi.
Disini sudah ada sindiran bahwa kediktatoran proletariat dalam kenyataan akan merupakan kediktatoran partai diatas proletariat. Kalau kita lalu membaca ucapan-ucapan tegas Lenin bahwa “ berjuta-juta buruh”harus” dilatih dan ditertibkan “ bahwa” kita akan memasang disiplin keras, baja didukung oelh kekuasaan negara para buruh bersenjata, maka munculnya totalitarisme kekuasaan partai pasca revolusi tidak lagi kelihatan begitu mengherankan. Lenin selalu melihat segala tugas sebagai masalah “pembuatan”, jadi masalah teknis yang memerlukan kekuasaan. Sebagaimana kesadaran sosialis harus dimasukkan kedalam proletariat dari luar, begitu pula tatanan sosialis tidak tumbuh dari suatu kepentingan atau kecondongan dalam buruh sendiri,melainkan harus diciptakan dari atas oleh partai yang menguasai teori sosialisme ilmiah. Partai mewakili proletariat karena partai memiliki pengertian ilmiah tentang sejarah dan sosialisme. Maka ia juga mengetahui apa yang harus dibangun sesudah proletariat merebut kekusaaan dan bagaimananya. Sebagai pasukan garis depan kelas buruh, partailah yang harus mengemudikan proletariat. Karena itu kediktatoran proletariat dalam kenyataan harus dijadikan oleh partai.
Bahkan ada tempat dimana Lenin bicara tentang “ kediktatoran partai”. Terhadap kritik Kautsky dan kaum Sosialdemokrat Barat, Lenin menegaskan: “apabila kami dituduh mendirikan kediktatoran sebuah partai.....maka kami mengatakan: betul, kediktatoran sebuah partai! Kami mempertahankan itu, dan kami tidak dapat meninggalkan dasar itu karena partai itu adalah partai yang selama berpuluh-puluh tahun merebut kedudukan sebagai pasukan depan seluruh proletariat indistri “Tidak mungkin massa buruh langsung menjadi mampu untuk menjalankan negara.” Apakah setiap buruh tahu bagaimana memerintah negara? Orang-orang praktek tahu bahwa itu sebuah ceritera utuk anak-anak.
Dalam masyarakat pasca revolusi pun selalu akan ada pelbagai konflik. Konflik-konflik itu selalu harus diselesaikan oeh instansi lebih tinggi, oleh partai komunis dan kalai masalahnya menyangkut hubungan antara partai-partai komunis internasional, maka oleh komintern. Dalam radikalisme kiri, penyakit kanak-kanak komunisme (1920), Lenin berpolemik terhadap para pengkritik revolusi Soviet yang bertanya” kediktatoran partai atau kediktatoran kelas? Menurut Lenin kelas-kelas sosial mana pun yang selalu dipmpin oleh partai politik yang sendiri dipimpin oleh orang-orang yang paling berwibawa dan berpengalaman. Maka “ seluruh omongan apakah’dari atas’ atau ‘dari bawah’apakh kediktatoran para pemimpin atau kediktatoran massa,dan seterusnya, kelihatan sebagai omong kosong, menggelikan, kekanak-kanakan.
6.      Marxisme-Leninisme
Tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa Leninlah yang membawa pemikiran Marx, sedikit banyak, menjadi realitas. Di dalam tulisan-tulisannya, Marx memang sudah menuliskan bahwa kapitalisme akan hancur pada akhirnya, dan kemudian terciptalah masyarakat sosialis. Akan tetapi, Leninlah yang memikirkan, bagaimana supaya kapitalisme bisa hancur. Dialah pendiri Uni Soviet, sebuah negara yang menjadi pusat gerakan komunisme internasional, sekaligus negara adikuasa kedua di dunia selama hampir seluruh abad kedua puluh. Pada masa-masa jayanya, komunisme menjadi bentuk pemerintahan dari 18 negara di dunia[3]. Melalui pikiran dan tindakannya yang agresif-revolusioner, Lenin membantu tegaknya komunisme di Russia pada revolusi 1917.[4]Yang pada hemat saya menarik adalah, bagaimana relasi Lenin dengan Marx? Apakah pemikiran mereka berdua sama, atau berbeda? Dan jika berbeda, dimana perbedaannya? Yang pasti, tidak lama setelah Lenin meninggal pada 1924, Stalin, penggantinya, langsung memberikan label pada pemikiran-pemikiran Lenin sebagai Leninisme. Dengan demikian, pemikiran Lenin kemudian lebih dikenal sebagai Marxisme-Leninisme. Ajaran inilah yang nantinya akan menjadi inti dari seluruh ideologi Komunisme di seluruh dunia. Ajaran ini jugalah yang menjadi inspirasi bagi perjuangan revolusioner hampir di keseluruhan abad kedua puluh. Kiranya tidaklah berlebihan apa yang ditulis Magnis-Suseno, bahwa komunisme, sebagai kekuatan politik yang paling ditakuti pada abad keduapuluh, tidak akan pernah ada tanpa Lenin.[5]  Kiranya, dalam hal relasi antara Lenin dengan Marx, ada dua konsep yang relevan untuk dibicarakan, yakni tentang konsep proletariat sebagai penguasa, dan tentang konsep partai revolusioner. Seperti sudah disinggung pada bagian pendahuluan, kedua konsep ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang diperlukan untuk mewujudkan ideal masyarakat komunis, yang akan dibahas pada bagian selanjutnya.
Konsep partai revolusioner berangkat dari pengandaian, bahwa kaum proletariat tidak bisa secara sendirian mengembangkan kesadaran revolusioner mereka. Mereka memerlukan partai untuk menyuntikkan kesadaran tersebut. Hal ini tentunya bertentangan langsung dengan pemikiran Marx. Menurut Marx, apa yang disebut sebagai kesadaran revolusioner bukanlah suatu konsep yang dihasilkan dari refleksi para intelektual, melainkan hasil dari dialektika perjuangan proletariat itu sendiri.[6]  Jadi, kesadaran revolusioner proletariat akan tumbuh dan berkembang di dalam pergulatannya. Jika kesadaran revolusioner itu dipompakan dari luar oleh partai, apakah kesadaran tersebut masih sungguh-sungguh otentik? Jika hal itu yang terjadi, maka perjuangan kaum proletariat adalah suatu tandan penindasan baru, yakni penindasan partai. Emansipasi pun tidak akan bisa berlangsung. Buruh akan tetap bergantung pada kekuatan dari luar. Dengan kata lain, konsep partai revolusioner menggambarkan apa yang secara jelas akan ditolak oleh Marx sejak awal, yakni ketertindasan dari luar.[7]
Lenin sendiri berpendapat, bahwa revolusi tidak akan secara niscaya datang. Kesadaran revolusioner kaum buruh pun tidak otomatis tumbuh. Oleh karena itu dibutuhkanlah sebuah partai yang akan mendorong terciptanya kesadaran tersebut. Ada tidaknya revolusi sangat tergantung dari kehendak revolusioner, dan kehendak revolusioner tidak dapat otomatis ada, melainkan harus ‘diadakan’. Disitulah fungsi partai revolusioner. Dalam arti ini, revolusi adalah sesuatu yang dikehendaki, sesuatu yang harus secara aktif diperjuangkan.
Setelah kekuasaan di Russia berada di tangan Kaum Bolshevik, Lenin lalu menghapus semua hak-hak demokratis masyarakat, dan secara sistematik menghancurkan semua pemberontakan. Kekuasaan yang diperlukan untuk membangun sebuah masyarakat komunis, hanya dapat diraih dan dipertahankan dengan adanya kediktatoran kaum proletariat. Jelas, Marx tidak pernah merumuskan ide semacam ini. Ia tidak memikirkan keberadaan sebuah partai yang akan melakukan represi guna menciptakan masyarakat komunis. Baginya, revolusi baru dapat terjadi, jika mayoritas masyarakat adalah kaum proletariat yang akan berhadapan langsung dengan para pemilik modal. Untuk sementara, kaum proletar memang harus menjalankan pemerintahan dengan tangan besi guna menumpas semua pemberontakan dari pemilik modal. Akan tetapi, ini pun hanya berlangsung sebentar. Jika seluruh masyarakat terdiri atas kaum proletar yang tidak lagi mempunyai musuh, maka kekuasaan tangan besi itu pun tidak lagi diperlukan.[8]
Secara historis, kondisi yang dihadapi oleh Lenin pada jamannya sangatlah berbeda dengan apa yang dipikirkan Marx. Pada masa itu, kelas yang merebut kekuasaan adalah kelas yang merupakan minoritas di Russia. Sementara, kelompok lainnya secara jelas menentang kekuasaan partai Bolshevik dan penerapan sosialisme. Dalam situasi semacam itu diperlukanlah suatu bentuk kediktatoran untuk menata keadaan. “Hanya dengan menindas segala perlawanan dan melalui tindakan diktatoris”, demikian tulis Magnis-Suseno tentang Lenin, “sosialisme akan dapat dibangun dan kelas-kelas yang berbeda lama-kelamaan dileburkan menjadi satu kelas pekerja”.[9]  Dalam kasus Lenin, kediktatoran partai tersebut akan berlangsung secara permanen.
Dua konsep ini, yakni keberadaan partai revolusioner dan keberadaan partai proletar yang memiliki kekuasaan permanen, akan menjadi penyangga bagi masyarakat komunis yang dirumuskan oleh Lenin. Dengan kata lain, untuk mendirikan masyarakat komunis, seperti yang menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme, dua konsep tersebut haruslah ada terlebih dahulu. Tanpanya, masyarakat komunis tidak akan pernah bisa diwujudkan. Lalu, masyarakat komunis macam apakah yang sungguh menjadi cita-cita Marxisme-Leninisme? Pada bab berikutnya, saya akan mencoba menjelaskan versi masyarakat komunis yang menjadi impian Lenin, yang kemudian upaya perwujudannya diteruskan oleh Partai Komunis Uni Soviet.


BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Lenin, adalah nama singkat yang lebih populer dari Valadimir Ilyich Ulyanov. nama Lenin sebenarnya adalah sebuah nama samaran dan diambil dari nama sungai Lena, di Siberia. Ia lahir pada tanggal 22 april 1870 di simbirsk. Ia adalah seorang revolusioner komunis rusia, pemimpin partai Bolshevik, Perdana mentri Uni Soviet pertama, Kepala Negara de facto pertama Uni Soviet dan pencipta paham Leninisme. Perbedaan yang menonjol dalam pemikiran lenin dengan Marx adalah Lenin lebih kepada seorang yang aktif dari pada yang dikerjakan oleh marx yang pada umumnya lebih banyak mengemukakan pikiran. Sumbangan yang diberikan lenin dalam melanjutkan dan mengaplikasikan Marxisme-Komunisme lebih bersifat praktis.
Alih-alih menjadi suatu masyarakat komunis yang diimpikan oleh Lenin dan Marx, Russia justru menjadi suatu negara totaliter yang menjadikan komunisme sebagai legitimasi bagi penindasannya. Hal ini tepat terjadi, karena tidak adanya kontrol kritis langsung dari masyarakat terhadap pemerintahnya. Dan juga, karena setiap orang yang bersikap kritis terhadap pemerintah akan dianggap sebagai musuh komunisme, dan haruslah ditumpas, juga atas nama komunisme.Lenin merupakan salah satu tokoh yang berpengaruh di dunia. Lebih dari itu. Sesudah selama 15 tahun digembleng oleh Lenin, kaum Bolshevik melaksanakan revolusi itu. Lenin adalah pendiri Uni Soviet, Negara sosialis pertama didunia.
2.      Saran
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari apa yang dikatakan sempurna dan mungkin tidak dapat memenuhi kehendak semua pihak. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat konstruktif dari semua pihak terutama sekali bagi mereka yang concern terhadap cara berfikirnya manusia. Mudah-mudahan atas saran dan kritikan konstruktif dari berbagai pihak, pada saatnya dapat diwujudkan dalam bentuk makalah yang lebih baik lagi.


DAFTAR PUSTAKA

Syam, Firdaus, 2010, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, Dan Pengruhnya Terhadap Dunia Ke 3 cetII, Jakarta : PT. Bumi Aksara
Magnis,Frans Dan Suseno, 2005, Dalam Bayang-Bayang Lenin: 6 Pemikir Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka, Jakarta : PT. GramediaPustaka Utama
Lukacs, Georg, History and Class Consciousness, America, Merlin Press, 1971.
Magnis-Suseno, Franz, Dalam Bayangan Lenin, Jakarta, Gramedia, 2003

Sumber Lain:
http://id.wikipedia.org/wiki/Vladimir_Lenin
http://dunia-history.blogspot.com/2012/09/biogarfi-lenin.html diakses Senin , 13 April 2015 pukul 01.00 WIB



[1] Firdaus Syam, 2010, Pemikiran Politik Barat: Sejarah, Filsafat, Ideologi, Dan Pengruhnya Terhadap Dunia Ke 3, Jakarta : PT. Bumi Aksara. Hal. 189
[2] Ibid. Hal. 191
[3] Lihat, Franz Magnis-Suseno, Dalam Bayangan Lenin, Jakarta, Gramedia, 2003, hal. 2.
[4] ibid, hal. 2-9.
[5] ibid, hal. 44.
[6] ibid, hal. 45.
[7] Lukacs memiliki argumen yang kurang lebih serupa. Lihat Georg Lukacs, History and Class Consciousness, America, Merlin Press, 1971. Ada beberapa catatan, bahwa Marx akan mengubah pandangannya di kemudian hari.
[8] ibid, hal. 50.
[9] Ibid, hal. 51.




0 komentar:

Posting Komentar