BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
belakang
Islam sebagai suatu agama yang sempurna merupakan sistem hidup yang
lengkap dan utuh, yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia, baik dalam
hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya, maupun
dengan manusia dengan alam sekitarnya. Islam telah mengatur dengan
sebaik-baiknya masalah-masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya
dalam satu sistem yang utuh.
Dan agama Islam sebagaimana agama-agama
langit terdahulu, disampaikan dengan sebuah kitab suci Al-Qur;an sebagai
petunjuk jalan, dan hadist-hadist Nabi, tak ada satu pun petunjuk mengenai
pembentukan sebuah negara oleh umat Islam. Namun dalam hal tersebut timbul
pertanyaan bagaimana mungkin dalam agama Islam tidak mengenalkan petunjuk
politis pada umat Islam sedangkan Rasulullah SAW telah menjalankan fungsi
sebuah ‘negara’ di Madînah al-Munawwarah.
Dalam hal tersebut manarik perhatian
penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi terkait negara islam, yang akan dibahas
pada subbab berikutnya.
1.2.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas terdapat rumusan masalah yang perlu di
kaji, diantaranya adalah:
1.2.1.
Pengertian
Negara Islam?
1.2.2.
Bagaimana
penjelasan dari bentuk-bentuk negara perspektif islam?
1.3.
Tujuan
penulisan
Adapaun tujuan dari pada penulisan makalah ini, diantaranya sebagai
berikut:
1.3.1.
Menambah
wawasan keilmuan akan negara islam.
1.3.2.
Untuk
memenuhi tugas dan bahan diskusi mata kuliah filsafat politik.
1.3.3.
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertuang dalam rumusan masalah.
1.4.
Metode Penulisan
Penulis memakai metode studi literatur dan
kepustakaan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber tidak
hanya dari buku, tetapi juga dari media media lain seperti e-book, web, blog,
dan perangkat media massa yang diambil dari internet.
1.5. Sistematika
Penulisan
Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu
bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab penutup. Adapun bab pendahuluan
terbagi atas : latar belakang, rumusan makalah, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab pembahasan dibagi
berdasarkan subbab yang berkaitan dengan pengertian negara islam dan bentuk-bentuk
negara perspektif islam, bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.
2.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Negara dalam Islam
Negara dalam terminologi secara umum, melahirkan beberapa pengertian.
Namun, negara dalam terminologi Islam yang diistilahkan dengan dawlah, pengertiannya selalu merujuk pada al-Quran yang
menggunakan term al-balad dan derivasinya.
Kata al-balad secara leksikal berarti tinggal di suatu
tempat, kota atau daerah, dan negeri. Kata al-balad yang
berarti kota ditemukan dalam QS. al-Balad (90): 1-2, yakni :
الْبَلَدِ بِهَذَا حِلٌّ
وَأَنتَ الْبَلَدِ بِهَذَا أُقْسِمُ لَا
Artinya: Aku benar-benar ber-sumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu
(Muhammad) bertempat di kota Mekah ini. Sedangkan derivasi
kata al-balad yang berarti negeri ditemukan dalam QS.
al-Fajr (89):11, yakni ;
الْبِلَادِ فِي طَغَوْا
الَّذِينَ
Artinya: yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri ini.
Pengertian yang sama, juga terdapat dalam QS. al-Furqān (25): 49, yakni ;
وَنُسْقِيَهُ مَيْتًا بَلْدَةً بِهِ لِنُحْيِيَ
Artinya: agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri yang mati).
Negeri yang juga dapat diartikan negara (al-bilad), disebut
dalam al-Quran dengan berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan perincian:
kata balada disebut sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata biladi 5 kali, sedangkan kata baldatun disebut sebanyak 5 kali, yang kesemuanya
berarti negara atau negeri.[1]
Negara merupakan sarana atau alat untuk
mengimplementasi kehendak dan cita cita warga negaranya, bisa dilihat dari
tujuan setiap Negara. Definisi Negara yang dikemukakan oleh Roger H. Soltau
ialah :
“Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan
persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”
Menurut Anton Minardi, bahwa prinsip bernegara telah dipraktekkan oleh
Rosulullah Saw, faktanya ialah Piagam Madinah dan menjadikan semua persoalan
yang tidak bisa diatasi dikembalikan kepada Rosulullah Saw. untuk menyelesaikan
persoalan tersebut. Ini menunjukkan bahwa praktek bernegara telah ada pada
zaman Rosulullah Saw. Hal ini diakui oleh para orientalis seperti; Robert N
Bellah, Montgomery Watt, John L. Esposito, Antony Black, dan lain-lain.[2]
2.2.
Bentuk-Bentuk
Negara Perspektif Islam
Dalam Islam, tidak terdapat tuntunan dalil
yang pasti tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan yang harus
dipraktekkan oleh umat Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw. Akibatnya, dalam
sejarah politik umat Islam mulai zaman Khulafa’ur Rasidin sampai runtuhnya
dinasti Usmaniyah di Turki, bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dipakai
oleh umat Islam selalu mengalami perubahan.[3]
Namun apabila dilihat secara historis, ummat Islam telah mempraktekan kehidupan
politik yang beragam dan menjalankan bentuk Negara dan sistem pemerintahan,
kedua bentuk Negara tersebut adalah Negara kesatuan dan serikat (federal), dan
keduanya hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang
dihadapinya.
2.2.1.
Negara
Kesatuan
Negara kesatuan ialah bentuk negara dimana
wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan di pusat. Kekuasaan terletak pada
pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah. Pemerintahan
pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaanya kepada
daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi),
tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berada pada pemerintahan
pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan kedalam maupun kedaulatan keluar,
sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat.[4]
Di dalam literatur lain mengatakan bahwa negara kesatuan adalah
bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat
yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah.[5] Namun
dalam kenyataannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem
pemerintahan: Sentral dan Otonomi
a.
Negara
kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung
dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya
melaksankan kebijakan pemerintah pusat. Contoh pemerintahan pada masa orde baru
kepemimpinan Presiden Soeharto.
b.
Negara
kesatuan yang berdasarkan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan
kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan di wilayahnya
sendiri. Sistem ini dikenal dengan otonomi daerah atau swatantra.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi
hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi,
di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi
kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah
daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di
tangan pemerintah pusat.[6]
C.F. Strong menunjuk dua ciri mutlak yang
melekat pada negara kesatuan[7],
yaitu:
1. Adanya supremasi dari dewan perwakilan
rakyat pusat
2. Tidak adanya badan-badan lainnya yang
berdaulat.
Dengan demikian, bagi para warga negaranya dalam negara kesatuan itu hanya
terasa adanya satu pemerintahan saja.[8] Dan
kekuasaan yang ada di dalam negara kesatuan tidak bisa dibagi-bagi.[9]
Dalam praktek sejarah politik ummat islam,
sejak zaman Rasullah SAW hingga al-khulafa al-Rasyidin jelas tampak bahwa islam
dipraktekkan di dalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan, dimana kekuasaan
terletak pada pemerintahan pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima
diangkat serta diberhentikan oleh khalifah.[10]
Hal ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umaiyah di Damaskus. Kemudian timbul
tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain yaitu Daulah
Abbasiyah di Baghdad, Daulah Umaiyah di Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia.
Meskipun ketiga pemerintahan itu terpisah,
tetapi kaum muslimin sebagai ummat dimana saja ia berada, bahasa apa saja yang
ia pakai dan ke dalam kebangsaan apapun dia termasuk, dia tetap mempunyai
hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain. Oleh karena itu walaupun
dunia islam pada waktu itu terpercah menjadi tiga pemerintahan akan tetapi kaum
muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada di wilayah
darul Islam. [11]
Zainal Abidin Ahmad menegaskan bahwa sejak
berpuluh-puluh abad lalu, Islam telah menentukan pendiriannya bahwa bentuk
negara Islam adalah negara republik. Khalifah adalah seorang presiden yang
dipilih oleh rakyat. Dengan mengutip pendapat Ibn Rusyd, pemerintahan arab
klasik di zaman Islam yang pertama adalah seperti sistem republik dari plato.
Tetapi Muawiyah meruntuhkan susunan yang baik itu, menghapuskan segala
keindahan dengan mencabut seluruh urat akarnya. Kenudian didirikan suatu
pemerintahan otokrasi. Akibatnya adalah runtuhnya sendi asas pemerintahan Islam
dan berjangkitlah anarki dan kekacauan di seluruj negeri Andalusia.[12]
Negara kessatuan Islam yang berbentuk
republik dalam sejarah Islam awal kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi
Negara kesatuan islam yang berbentuk Monarki (kerajaan) dimana kepala Negara
tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan keturunan. Dalam kehidupan
kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini oleh ummat Islam dipraktekkan
dibeberapa negara. Bentuk Negara kesatuan Islam yang berbentuk republik telah
dipraktekkan oleh Republik Islam Iran yang beraliran Syah dan Republik Islam
Pakiistan yang beraliran Sunni.Kedua Negara ini telah menjadi contoh dari
Negara kesatuan islam yang berbentuk republik .Sedangkan bentuk Negara kesatuan
islam yang berbentuk Monarki dipraktekan oleh Arab Saudi, Maroko, dan Jordania[13],
dimana pergantian kekuasaan tidak ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh
keturunan penguasa.
Menurut Ibnu Abi Rabi’[14]
memilih monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja serta penguasa
tunggal, sebagai bentuk yang terbaik. Alasan utama mengapa Ibnu Abi Rabi’
memilih monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik adalah keyakinannya
bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar
membina persatuan.[15]
2.2.2.
Negara
Serikat Federal
Negara Federasi
ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan
unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau
wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi
(undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk
negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah
tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.[16]
Bentuk Negara serikat (federal) adalah
Negara diberikan hak untuk mengelola mengatur dirinya sendiri sesuai dengan
karakteristik dan budaya yang dimiliki. Bentuk Negara ini baru diberlakukan
pasca renaissanse (peralihan dari zaman pertengahan ke zaman
moderen), Negara serikat (federal) merupakan pemikiran yang berasal dari Barat yang pertama
kali diperkenalkan C.F. Strong dan K.C. Wheare.
Sekalipun terdapat banyak perbedaan antara
negara federal satu sama lain, akan tetapi ada satu prinsip yang sama, yaitu
soal-soal yang menyangkut negara dalam keseluruhannya diserahkan kepada
kekuasaan federal. Dalam hal-hal tertentu misalnya mengadakan perjanjian
internasional atau mencetak uang, pemerintah federal bebas dari bagian-bagian
dan dalam bidang itu pemerintah federal mempunyai kekuasaan yang tertinggi.
Tetapi untuk soal-soal yang menyangkut negara bagian belaka dan tidak termasuk
kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara bagian.[17]
Menurut C. F Strong salah satu ciri negara
federal ialah bahwa ia mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya
bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan
kedaulatan negara bagian. Penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari negara-negara
bagian diserahkan sama sekali kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan
ke dalam dibatasi[18]
Sifat dasar negara federal adalah adanya
pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit federal. Ada tiga hal
yang membedakan negara federal satu sama lainnya. Pertama, pembagian
kekuasaan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Kedua, bentuk
otoritas untuk melindungi supremasi konstitusi di atas otoritas federal dan
otoritas negara bagian jika muncul konflik di antara keduanya. Ketiga, menurut
cara perubahan konstitusi jika dikehendaki adanya perubahan semacam itu.[19]
Negara serikat (federal) menjadi sebuah
alternatif bagi pemerintaan kehidupan demi terciptanya kesejahteraan hakiki. Inti dari
negara yang memakai sistem federal adalah pemberian kebebasan dan wewenang pada
negara-negara bagian untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan karakteristik yang
berada di masing-masing federal disesuikan dengan kemampuan sumber daya
alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Tujuannya adalah tercapainya
ekonomi dan kesejahteraan.
Adapun ciri khas dari negara serikat
(federal) adalah:
1. Adanya supremasi dari konstitusi di mana
federasi itu terwujud.
2. Adanya pembagian kekuasaan negara-negara
serikat (federal) dan negara-negara bagian.
3. Adanya suatu lembaga yang diberi wewenang
untuk menyelesaikan satu perselisihan antara pemerintah federal dan
pemerintahan negara bagian.[20]
Bentuk negara serikat (federal) ini diharapkan dapat
meminimalisir tindakan-tindakan kesewenang-wenangan
seperti pengerukan sumber daya alam yang ada di
daerah untuk kepentingan pusat, kesenjangan antara pusat dan
daerah, ketidak adilan dalam masalah ekonomi dan pembangunan serta terjadinya
sentralisasi dalam berbagai bidang sehingga mengancam eksistensi dalam berbagai
bidang yang ada di daerah seperti budaya, ekonomi, sosial, politik dan hukum.[21]
Dalam praktis sejarah politik umat Islam,
sejak mulai lahir di zaman nabi sampai zaman al-Khulafa’ al-Rasyidun,Dinasti
Umayah dan permulaan Abbasiyah, negara Islam masih berbentuk negara kesatuan.
Baik di masa pemerintahan daerah masih imarah kashah si zaman nabi dan khalifah
abu bakar, maupun sesudah menjadi imarah ‘ammah yang dimulai oleh khalifah
umar, negara Islam masih tetap merupakan negara kesatuan. Baru di zaman
Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/789-809 M), dimulai rencana pembentukan
negara federasi. Dia menghadapi persoalan serupa dengan kakeknya, Mansur, yakni
berdirinya negara Idrisiyah (Adarisah) di Maroko pada 177 H. Pada awalnya
peristiwa itu disambut dengan kemarahan. Tetapi, kemudian pemerintahan sendiri
mengadakan rencana pembentukan negara-negara bagian, dengan menyetujui
berdirinya negara aglabiyah (Agalibah) di Tunis pada 184 H, yang didirikan oleh
Ibrahim bin Aglab. Negara ini berdiri selama satu abad lebih, dari 184 H/ 800 M
– 296 H/ 908 M.[22]
Rencana ini dilanjutkan oleh khalifah Ma’mun
(198-218 H/ 813-833 M). Diperintahkan kepada wazir yang tercakap, Tahir bin
Husen, untuk mendirikan suatu negara bagian sebagai percobaan (model) di
Khurasan dengan nama Thahiriyah. Negara ini dapat berjalan setengah abad, dari
205 H/ 820 M – 259 H/ 872 M. Percobaan ini penting sekali, bukan saja karena
kepala negaranya orang pilihan yang ditunjuk dari pusat, tapi lebih lagi karena
daerah percobaan itu dilakukan di Khurasan tempat tumbuh dan berdirinya
organisasi Abbasiyah yang pertama.[23]
BAB III
PENUTUP
3.1.
Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan pada Bab II di atas, dapat penulis simpulkan bahwa negara dalam terminologi Islam yang
diistilahkan dengan dawlah,
pengertiannya selalu merujuk pada al-Quran yang menggunakan term al-balad dan derivasinya. Sedangkan bentuk-bentuk
negara perspektif islam terdapat dua kategori. Pertama, Negara kesatuan
ialah bentuk negara dimana wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan di pusat.
Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah.
Dalam praktik sejarah politik Islam, sejak
zaman Rasulullah Saw hingga al-Khulafa’ al-Rasyidun jelas
tampak bahwa Islam dipraktekkan di dalam ketatanegaraan sebagai negara
kesatuan, di mana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat, gubernur-gubernur
dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah.
Kedua, adanya Negara Federasi diamana ditandai adanya pemisahan
kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya
(negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan
ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar).
Dalam sejarah politik Islam negara federal
mulai diterapkan pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/789-809 M).
Kemudian diteruskan oleh khalifah Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M).
Diperintahkan kepada wazir yang tercakap,
Tahir bin Husen, untuk mendirikan suatu negara bagian sebagai percobaan (model)
di Khurasan dengan nama Thahiriyah. Negara ini dapat berjalan setengah abad,
dari 205 H/ 820 M – 259 H/ 872 M.
3.2.
Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu bagi para pembaca mohon bersedia mengoreksinya dan memberikan saran dan kritik
yang bersifat membangun demi kemajuan penulisan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Minardhi, Anton, Konsep Negara dan Gerakan Baru
Islam menuju modern sejahtera : Bandung
,Prisma Press, 2008.
Anam, Khoirul, Fikih Siyasah dan Wacana
Politik Kontemporer, Yogyakarta : Ide Pustaka, 2009.
Syarif, Mujar
Ibnu, dan Zada, Khamami, Fiqh Siyasah, Jakarta: Erlangga, 2008.
Ubaidillah,
A. dan Rozak, Abdul, Pendidikan Kewargaan (civic education) Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi ketiga. Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2008.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:
PT Gramedia Utama, 2006.
C. F. Strong, Modern Political
Constitution: An Introduction to The Comparative Study Of Their History An
Existing Form, London: Sidgwijk and Jackson, 1963.
Soemantri Sri, Perbandingan Antar Hukum
Tatanegara, Bandung: Alumni, 1971.
Djazuli, A, Fiqh Siyasah:
Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, Bandung: Gunung
Djati Press, 2000
Abdidin Ahmad, Zainal, Membangun Negara Islam,
Jakarta: Iqro Pustaka, 1956.
Sjadzali,
H. Munawir, M.A, Islam dan Tata Negara;ajaran, sejarah dan Pendidikan,
Edisi 5, Jakarta: UI Press, 1993.
Huda,
Ni’matul, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers,2013.
Sumber
Lain:
Seta Basri, http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/jenis-kuasa-bentuk-negara-dan-sistem.html di akses tanggal 19 Mei 2015.
http://www.referensimakalah.com/2012/04/pengertian-negara-menurut-terminologi_7948.html
, diakses 18 Mei 2015
[1]http://www.referensimakalah.com/2012/04/pengertian-negara-menurut-terminologi_7948.html
, di akses 18 Mei 2015
[2] Anton Minardhi, , Konsep Negara dan Gerakan Baru
Islam menuju modern sejahtera : Bandung
,Prisma Press, 2008, hlm. 31
[3] Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer,
Yogyakarta : Ide Pustaka, 2009, hlm. 130
[4] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, Jakarta:
Erlangga, 2008, hlm. 198-199
[5] A. Ubaidillah
dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi ketiga. Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2008, hlm, 89
[6] Prof. Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Utama,
2006, hlm. 140
[7] Ibid, hlm. 141
[8] C. F. Strong, Modern Political
Constitution: An Introduction to The Comparative Study Of Their History An
Existing Form, London: Sidgwijk and Jackson, 1963, hlm. 84. Lihat juga Sri
Soemantri, SH., Perbandingan Antar Hukum Tatanegara, Bandung:
Alumni, 1971, hlm. 62
[9] A. Djazuli, Fiqh Siyasah:
Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, Bandung: Gunung
Djati Press, 2000, hlm. 105
[10] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh
Siyasah, Jakarta : Erlangga 2008,
hlm. 200
[11] Djazuli, Fiqih Siyasah, Op.Cit, hlm. 150
[12] Zainal Abdidin Ahmad, Membangun Negara Islam, Jakarta: Iqro Pustaka,
1956, hal. 120-121
[13] H. Munawir
Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara;ajaran, sejarah dan Pendidikan,
Edisi 5, Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 221
[14] Ibid, hlm. 46
[15] Ni’matul Huda,
Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers,2013, hlm. 230
[16] Seta Basri, http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/jenis-kuasa-bentuk-negara-dan-sistem.html di akses tanggal 19 Mei 2015
[17] ., Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Op. Cit, hlm. 202
[18] Prof. Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 141
[19] Ni’matul Huda,
Op.Cit, hlm. 240-241
[20] A.Djazuli, Op. Cit, hlm. 110
[21] Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer,
Yogyakarta : Ide Pustaka, 2009, hlm. 139-140.
[22] Zainal Abdidin Ahmad, Membangun Negara
Islam, Jakarta: Iqro Pustaka, 1956, hlm. 183
[23] Ibid,. hlm. 183
0 komentar:
Posting Komentar