Jumat, 27 Oktober 2017

// // Leave a Comment

Makalah "Bentuk-Bentuk Negara Perspektif Islam"

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar belakang
Islam sebagai suatu agama yang sempurna merupakan sistem hidup yang lengkap dan utuh, yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan sesamanya, maupun dengan manusia dengan alam sekitarnya. Islam telah mengatur dengan sebaik-baiknya masalah-masalah ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam satu sistem yang utuh.
Dan agama Islam sebagaimana agama-agama langit terdahulu, disampaikan dengan sebuah kitab suci Al-Qur;an sebagai petunjuk jalan, dan hadist-hadist Nabi, tak ada satu pun petunjuk mengenai pembentukan sebuah negara oleh umat Islam. Namun dalam hal tersebut timbul pertanyaan bagaimana mungkin dalam agama Islam tidak mengenalkan petunjuk politis pada umat Islam sedangkan Rasulullah SAW telah menjalankan fungsi sebuah ‘negara’ di Madînah al-Munawwarah.
Dalam hal tersebut manarik perhatian penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi terkait negara islam, yang akan dibahas pada subbab berikutnya.
1.2.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas terdapat rumusan masalah yang perlu di kaji, diantaranya adalah:
1.2.1.      Pengertian Negara Islam?
1.2.2.      Bagaimana penjelasan dari bentuk-bentuk negara perspektif islam?
1.3.  Tujuan penulisan
Adapaun tujuan dari pada penulisan makalah ini, diantaranya sebagai berikut:
1.3.1.      Menambah wawasan keilmuan akan negara islam.
1.3.2.      Untuk memenuhi tugas dan bahan diskusi mata kuliah  filsafat politik.
1.3.3.      Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tertuang dalam rumusan masalah.

1.4.  Metode Penulisan
Penulis memakai metode studi literatur dan kepustakaan dalam penulisan makalah ini. Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku, tetapi juga dari media media lain seperti e-book, web, blog, dan perangkat media massa yang diambil dari internet.
1.5.  Sistematika Penulisan           
Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu bab pendahuluan, bab pembahasan, dan bab penutup. Adapun bab pendahuluan terbagi atas : latar belakang, rumusan makalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Sedangkan bab pembahasan dibagi berdasarkan subbab yang berkaitan dengan pengertian negara islam dan bentuk-bentuk negara perspektif islam, bab penutup terdiri atas kesimpulan dan saran.


2.       
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Negara dalam Islam
Negara dalam terminologi secara umum, melahirkan beberapa pengertian. Namun, negara dalam terminologi Islam yang diistilahkan dengan dawlah, pengertiannya selalu merujuk pada al-Quran yang menggunakan term al-balad dan derivasinya. Kata al-balad secara leksikal berarti tinggal di suatu tempat, kota atau daerah, dan negeri. Kata al-balad yang berarti kota ditemukan dalam QS. al-Balad (90): 1-2, yakni :
       الْبَلَدِ بِهَذَا حِلٌّ وَأَنتَ الْبَلَدِ بِهَذَا أُقْسِمُ لَا

Artinya: Aku benar-benar ber-sumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini. Sedangkan derivasi kata al-balad yang berarti negeri ditemukan dalam QS. al-Fajr (89):11, yakni ;
الْبِلَادِ فِي طَغَوْا الَّذِينَ
Artinya: yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri ini. Pengertian yang sama, juga terdapat dalam QS. al-Furqān (25): 49, yakni ;
وَنُسْقِيَهُ مَيْتًا بَلْدَةً بِهِ لِنُحْيِيَ

Artinya: agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri yang mati).
Negeri yang juga dapat diartikan negara (al-bilad), disebut dalam al-Quran dengan berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan perincian: kata balada disebut sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata biladi 5 kali, sedangkan kata baldatun disebut sebanyak 5 kali, yang kesemuanya berarti negara atau negeri.[1]
Negara merupakan sarana atau alat untuk mengimplementasi kehendak dan cita cita warga negaranya, bisa dilihat dari tujuan setiap Negara. Definisi Negara yang dikemukakan oleh Roger H. Soltau ialah :
“Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat”
Menurut Anton Minardi, bahwa prinsip bernegara telah dipraktekkan oleh Rosulullah Saw, faktanya ialah Piagam Madinah dan menjadikan semua persoalan yang tidak bisa diatasi dikembalikan kepada Rosulullah Saw. untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ini menunjukkan bahwa praktek bernegara telah ada pada zaman Rosulullah Saw. Hal ini diakui oleh para orientalis seperti; Robert N Bellah, Montgomery Watt, John L. Esposito, Antony Black, dan lain-lain.[2]
2.2.  Bentuk-Bentuk Negara Perspektif  Islam
Dalam Islam, tidak terdapat tuntunan dalil yang pasti tentang bentuk negara dan sistem pemerintahan yang harus dipraktekkan oleh umat Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw. Akibatnya, dalam sejarah politik umat Islam mulai zaman Khulafa’ur Rasidin sampai runtuhnya dinasti Usmaniyah di Turki, bentuk negara dan sistem pemerintahan yang dipakai oleh umat Islam selalu mengalami perubahan.[3] Namun apabila dilihat secara historis, ummat Islam telah mempraktekan kehidupan politik yang beragam dan menjalankan bentuk Negara dan sistem pemerintahan, kedua bentuk Negara tersebut adalah Negara kesatuan dan serikat (federal), dan keduanya hidup dalam konteks sejarah yang berbeda sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
2.2.1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan ialah bentuk negara dimana wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan di pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaanya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi), tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap berada pada pemerintahan pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan kedalam maupun kedaulatan keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat.[4]
Di dalam literatur lain mengatakan bahwa negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, dengan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah.[5] Namun dalam kenyataannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem pemerintahan: Sentral dan Otonomi
                a.        Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang langsung dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di bawahnya melaksankan kebijakan pemerintah pusat. Contoh pemerintahan pada masa orde baru kepemimpinan Presiden Soeharto.
               b.        Negara kesatuan yang berdasarkan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan di wilayahnya sendiri. Sistem ini dikenal dengan otonomi daerah atau swatantra.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat.[6]  
C.F. Strong menunjuk dua ciri mutlak yang melekat pada negara kesatuan[7], yaitu:
1.       Adanya supremasi dari dewan perwakilan rakyat pusat
2.       Tidak adanya badan-badan lainnya yang berdaulat.
Dengan demikian, bagi para warga negaranya dalam negara kesatuan itu hanya terasa adanya satu pemerintahan saja.[8] Dan kekuasaan yang ada di dalam negara kesatuan tidak bisa dibagi-bagi.[9]
Dalam praktek sejarah politik ummat islam, sejak zaman Rasullah SAW hingga al-khulafa al-Rasyidin jelas tampak bahwa islam dipraktekkan di dalam ketatanegaraan sebagai Negara kesatuan, dimana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah.[10] Hal ini berlangsung sampai jatuhnya Daulah Umaiyah di Damaskus. Kemudian timbul tiga kerajaan Islam yang tampaknya terpisah satu sama lain yaitu Daulah Abbasiyah di Baghdad, Daulah Umaiyah di Mesir dan Daulah Umaiyah di Andalusia.
Meskipun ketiga pemerintahan itu terpisah, tetapi kaum muslimin sebagai ummat dimana saja ia berada, bahasa apa saja yang ia pakai dan ke dalam kebangsaan apapun dia termasuk, dia tetap mempunyai hak-hak yang sama sebagai kaum muslimin yang lain. Oleh karena itu walaupun dunia islam pada waktu itu terpercah menjadi tiga pemerintahan akan tetapi kaum muslimin menganggap atau seharusnya menganggap ketiga-tiganya ada di wilayah darul Islam. [11]
Zainal Abidin Ahmad menegaskan bahwa sejak berpuluh-puluh abad lalu, Islam telah menentukan pendiriannya bahwa bentuk negara Islam adalah negara republik. Khalifah adalah seorang presiden yang dipilih oleh rakyat. Dengan mengutip pendapat Ibn Rusyd, pemerintahan arab klasik di zaman Islam yang pertama adalah seperti sistem republik dari plato. Tetapi Muawiyah meruntuhkan susunan yang baik itu, menghapuskan segala keindahan dengan mencabut seluruh urat akarnya. Kenudian didirikan suatu pemerintahan otokrasi. Akibatnya adalah runtuhnya sendi asas pemerintahan Islam dan berjangkitlah anarki dan kekacauan di seluruj negeri Andalusia.[12]
Negara kessatuan Islam yang berbentuk republik dalam sejarah Islam awal kemudian dirubah oleh Muawiyyah menjadi Negara kesatuan islam yang berbentuk Monarki (kerajaan) dimana kepala Negara tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan berdasarkan keturunan. Dalam kehidupan kenegaraan sekarang, dua model ketatanegaraan ini oleh ummat Islam dipraktekkan dibeberapa negara. Bentuk Negara kesatuan Islam yang berbentuk republik telah dipraktekkan oleh Republik Islam Iran yang beraliran Syah dan Republik Islam Pakiistan yang beraliran Sunni.Kedua Negara ini telah menjadi contoh dari Negara kesatuan islam yang berbentuk republik .Sedangkan bentuk Negara kesatuan islam yang berbentuk Monarki dipraktekan oleh Arab Saudi, Maroko, dan  Jordania[13], dimana pergantian kekuasaan tidak ditentukan oleh suara rakyat melainkan oleh keturunan penguasa. 
Menurut Ibnu Abi Rabi’[14] memilih monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal, sebagai bentuk yang terbaik. Alasan utama mengapa Ibnu Abi Rabi’ memilih monarki sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik adalah keyakinannya bahwa dengan banyak kepala, maka politik negara akan terus kacau dan sukar membina persatuan.[15]
2.2.2. Negara Serikat Federal
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan ekonomi cukup tajam.[16]
Bentuk Negara serikat (federal) adalah Negara diberikan hak untuk mengelola mengatur dirinya sendiri sesuai dengan karakteristik dan budaya yang dimiliki. Bentuk Negara ini baru diberlakukan pasca renaissanse (peralihan dari zaman pertengahan ke zaman moderen), Negara serikat (federal) merupakan pemikiran yang berasal dari Barat yang pertama kali diperkenalkan C.F. Strong dan K.C. Wheare.
Sekalipun terdapat banyak perbedaan antara negara federal satu sama lain, akan tetapi ada satu prinsip yang sama, yaitu soal-soal yang menyangkut negara dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hal-hal tertentu misalnya mengadakan perjanjian internasional atau mencetak uang, pemerintah federal bebas dari bagian-bagian dan dalam bidang itu pemerintah federal mempunyai kekuasaan yang tertinggi. Tetapi untuk soal-soal yang menyangkut negara bagian belaka dan tidak termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan negara bagian.[17]
Menurut C. F Strong salah satu ciri negara federal ialah bahwa ia mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan, yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan negara bagian. Penyelenggaraan kedaulatan ke luar dari negara-negara bagian diserahkan sama sekali kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi[18]
Sifat dasar negara federal adalah adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit federal. Ada tiga hal yang membedakan negara federal satu sama lainnya. Pertama, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan pemerintah negara bagian. Kedua, bentuk otoritas untuk melindungi supremasi konstitusi di atas otoritas federal dan otoritas negara bagian jika muncul konflik di antara keduanya. Ketiga, menurut cara perubahan konstitusi jika dikehendaki adanya perubahan semacam itu.[19]
Negara serikat (federal) menjadi sebuah alternatif bagi pemerintaan kehidupan demi terciptanya kesejahteraan hakiki. Inti dari negara yang memakai sistem federal adalah pemberian kebebasan dan wewenang pada negara-negara bagian untuk mengelola daerahnya sendiri sesuai dengan karakteristik yang berada di masing-masing federal disesuikan dengan kemampuan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya. Tujuannya adalah tercapainya ekonomi dan kesejahteraan.



Adapun ciri khas dari negara serikat (federal) adalah:
1.       Adanya supremasi dari konstitusi di mana federasi itu terwujud.
2.       Adanya pembagian kekuasaan negara-negara serikat (federal) dan negara-negara bagian.
3.       Adanya suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan satu perselisihan antara pemerintah federal dan pemerintahan negara bagian.[20]
Bentuk negara serikat (federal) ini diharapkan dapat meminimalisir tindakan-tindakan kesewenang-wenangan seperti pengerukan sumber daya alam yang ada  di daerah  untuk kepentingan pusat, kesenjangan antara pusat dan daerah, ketidak adilan dalam masalah ekonomi dan pembangunan serta terjadinya sentralisasi dalam berbagai bidang sehingga mengancam eksistensi dalam berbagai bidang yang ada di daerah seperti budaya, ekonomi, sosial, politik dan hukum.[21]
Dalam praktis sejarah politik umat Islam, sejak mulai lahir di zaman nabi sampai zaman al-Khulafa’ al-Rasyidun,Dinasti Umayah dan permulaan Abbasiyah, negara Islam masih berbentuk negara kesatuan. Baik di masa pemerintahan daerah masih imarah kashah si zaman nabi dan khalifah abu bakar, maupun sesudah menjadi imarah ‘ammah yang dimulai oleh khalifah umar, negara Islam masih tetap merupakan negara kesatuan. Baru di zaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/789-809 M), dimulai rencana pembentukan negara federasi. Dia menghadapi persoalan serupa dengan kakeknya, Mansur, yakni berdirinya negara Idrisiyah (Adarisah) di Maroko pada 177 H. Pada awalnya peristiwa itu disambut dengan kemarahan. Tetapi, kemudian pemerintahan sendiri mengadakan rencana pembentukan negara-negara bagian, dengan menyetujui berdirinya negara aglabiyah (Agalibah) di Tunis pada 184 H, yang didirikan oleh Ibrahim bin Aglab. Negara ini berdiri selama satu abad lebih, dari 184 H/ 800 M – 296 H/ 908 M.[22]
Rencana ini dilanjutkan oleh khalifah Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M). Diperintahkan kepada wazir yang tercakap, Tahir bin Husen, untuk mendirikan suatu negara bagian sebagai percobaan (model) di Khurasan dengan nama Thahiriyah. Negara ini dapat berjalan setengah abad, dari 205 H/ 820 M – 259 H/ 872 M. Percobaan ini penting sekali, bukan saja karena kepala negaranya orang pilihan yang ditunjuk dari pusat, tapi lebih lagi karena daerah percobaan itu dilakukan di Khurasan tempat tumbuh dan berdirinya organisasi Abbasiyah yang pertama.[23]


























BAB III
PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan pada Bab II di atas, dapat penulis simpulkan bahwa negara dalam terminologi Islam yang diistilahkan dengan dawlah, pengertiannya selalu merujuk pada al-Quran yang menggunakan term al-balad dan derivasinya. Sedangkan bentuk-bentuk negara perspektif islam terdapat dua kategori. Pertama, Negara kesatuan ialah bentuk negara dimana wewenang kekuasaan tertinggi dipusatkan di pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak pada pemerintahan daerah.
Dalam praktik sejarah politik Islam, sejak zaman Rasulullah Saw hingga al-Khulafa’ al-Rasyidun jelas tampak bahwa Islam dipraktekkan di dalam ketatanegaraan sebagai negara kesatuan, di mana kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat, gubernur-gubernur dan panglima-panglima diangkat serta diberhentikan oleh khalifah.
Kedua, adanya Negara Federasi diamana ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian, provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar).
Dalam sejarah politik Islam negara federal mulai diterapkan pada zaman Khalifah Harun al-Rasyid (170-193 H/789-809 M). Kemudian diteruskan oleh khalifah Ma’mun (198-218 H/ 813-833 M).
Diperintahkan kepada wazir yang tercakap, Tahir bin Husen, untuk mendirikan suatu negara bagian sebagai percobaan (model) di Khurasan dengan nama Thahiriyah. Negara ini dapat berjalan setengah abad, dari 205 H/ 820 M – 259 H/ 872 M.
3.2.  Saran
Makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu bagi para pembaca mohon bersedia mengoreksinya dan memberikan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kemajuan penulisan makalah berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA


Minardhi, Anton, Konsep Negara dan Gerakan Baru Islam menuju modern sejahtera : Bandung ,Prisma Press, 2008.

Anam, Khoirul, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta : Ide Pustaka, 2009.

Syarif,  Mujar Ibnu, dan Zada, Khamami, Fiqh Siyasah, Jakarta: Erlangga, 2008.

Ubaidillah, A. dan Rozak, Abdul, Pendidikan Kewargaan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi ketiga. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Budiardjo,  Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2006.

C. F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to The Comparative Study Of Their History An Existing Form, London: Sidgwijk and Jackson, 1963.

Soemantri Sri, Perbandingan Antar Hukum Tatanegara, Bandung: Alumni, 1971.

Djazuli, A, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, Bandung: Gunung Djati Press, 2000

Abdidin Ahmad, Zainal, Membangun Negara Islam, Jakarta: Iqro Pustaka, 1956.

Sjadzali, H. Munawir, M.A, Islam dan Tata Negara;ajaran, sejarah dan Pendidikan, Edisi 5, Jakarta: UI Press, 1993.

Huda, Ni’matul, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers,2013.


Sumber Lain:


http://www.referensimakalah.com/2012/04/pengertian-negara-menurut-terminologi_7948.html , diakses 18 Mei 2015





[1]http://www.referensimakalah.com/2012/04/pengertian-negara-menurut-terminologi_7948.html , di akses 18 Mei 2015
[2] Anton Minardhi, , Konsep Negara dan Gerakan Baru Islam menuju modern sejahtera : Bandung ,Prisma Press, 2008, hlm. 31
[3] Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta : Ide Pustaka, 2009, hlm. 130
[4] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, Jakarta: Erlangga, 2008, hlm. 198-199
[5] A. Ubaidillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (civic education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Edisi ketiga. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2008, hlm, 89
[6] Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Utama, 2006, hlm. 140
[7] Ibid, hlm. 141
[8] C. F. Strong, Modern Political Constitution: An Introduction to The Comparative Study Of Their History An Existing Form, London: Sidgwijk and Jackson, 1963, hlm. 84. Lihat juga Sri Soemantri, SH., Perbandingan Antar Hukum Tatanegara, Bandung: Alumni, 1971, hlm. 62
[9] A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam rambu-rambu syari’ah, Bandung: Gunung Djati Press, 2000, hlm. 105
[10] Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, Jakarta :  Erlangga 2008,  hlm. 200
[11] Djazuli, Fiqih Siyasah, Op.Cit, hlm. 150
[12] Zainal Abdidin Ahmad, Membangun Negara Islam, Jakarta: Iqro Pustaka, 1956, hal. 120-121
[13] H. Munawir Sjadzali, M.A, Islam dan Tata Negara;ajaran, sejarah dan Pendidikan, Edisi 5, Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 221
[14] Ibid, hlm. 46
[15] Ni’matul Huda, Ilmu Negara, Jakarta: Rajawali Pers,2013, hlm. 230
[17] ., Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Op. Cit, hlm. 202
[18] Prof.  Miriam Budiardjo, Op. Cit, hlm. 141
[19] Ni’matul Huda, Op.Cit, hlm. 240-241
[20] A.Djazuli, Op. Cit, hlm. 110
[21] Khoirul Anam, Fikih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer, Yogyakarta : Ide Pustaka, 2009, hlm. 139-140.
[22] Zainal Abdidin Ahmad, Membangun Negara Islam, Jakarta: Iqro Pustaka, 1956, hlm. 183
[23] Ibid,. hlm. 183

0 komentar:

Posting Komentar