Minggu, 22 Oktober 2017

// // Leave a Comment

MAKALAH ILMU KALAM HARUN NASUTION

ILMU KALAM HARUN NASUTION 


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
      Ilmu kalam atau teologi sudah kita kenal sejak zaman Khulafaur Rasyidin, menurut Harun Nasution kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Ustman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Muawiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
      Ilmu kalam atau teologi dari masa ke masa mengalami perkembangan yang cukup pesat, banyak tokoh-tokoh pemikir ilmu kalam bermunculan. Dan memiliki argumentasi yang berbeda-beda, sehingga persoalan-persoalan yang mengenai ilmu kalam atau teologi itu sendiri semakin serius untuk dibahas. Karena dari permasalahan tersebut akan memicu timbulnya pemikiran-pemikiran yang baru dan tanggapan dari berbagai tokoh-tokoh ilmu kalam itu sendiri.
Dengan adanya permasalahan-permasalahan tentang ilmu kalam ini akan menambah wawasan keilmuan bagi para tokoh pemikir itu sendiri maupun bagi orang-orang yang terlibat dalam keilmuan tersebut. Banyaknya tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang yang berbeda, maka banyak pula pemikiran-pemikiran dari mereka yang berbeda tentang permasalahan ilmu kalan ini. Sebagai contoh, di dalam makalah ini insya Allah akan di bahas teologi atau ilmu kalam yang mengacu pada satu tokoh, yaitu Harun Nasution. Oleh karena itu, penulis mencoba mengangkat makalah dengan judul “Ilmu kalam: Harun Nasution”. Hal ini sebagai bahan tugas mandiri mata kuliah ilmu kalam, sehingga akan mendapatkan wawasan keilmuan terkait dengan permasalahan ilmu kalam.
2.      Rumusan Masalah
            Adapun rumusan masalah yang dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana riwayat hidup Harun Nasution?
2.      Apa pemikiran Harun Nasution tentang teologi?      
3.      Karya-karya apa saja yang dikarang oleh Harun Nasution?

3.      Tujuan Masalah
            Dari rumusan masalah di atas ada beberapa tujuan masalah yang dapat diambil yaitu:
1.      mengetahui riwayat hidup Harun Nasution,
2.      mengetahui  pemikiran Harun Nasution tentang teologi,

 BAB II
PEMBAHASAN
ILMU KALAM HARUN NASITION


1.                  Riwayat Singkat Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari Selasa 23 September 1919 di Sumatera. Ayahnya, Jabar Ahmad adalah seorang ulama yang mengetahui kitab-kitab Jawi.
Pendidikan formalnya dimulai dari sekolah Belanda HIS. Setelah tujuh tahun di HIS. Selama tujuh tahun, Harun belajar bahasa Belanda dan ilmu pengetahuan umum di HIS itu, dia berada dalam lingkungan disiplin yang ketat. Di lingkungan keluarga, harun memulai pendidikan Agama dari lingkungan keluarganya dengan belajar mengaji, shalat dan ibadah lainnya.[1]beliau meneruskan ke MIK (Modern Islamietishe Kweekschool) di Bukittinggi pada tahun 1934. pendidikannya lalu diteruskan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Sambil kuliah di Al-Azhar beliau kuliah juga di Universitas amerika di Mesir. Pendidikannya lalu dilanjutkan ke Mc. Gill, Kanada pada tahun 1962.[2]
Setiba di tanah air pada tahun 1969 beliau langsung terjun dalam bidang akademisi, yakni menjadi dosen di IAIN Jakarta, IKIP Jakarta, dan kemudian juga pada Universitas Nasional. Harun Nasution adalah figur sentral dalam semacam jaringan intelektual yang terbentuk dikawasan IAIN Ciputat semenjak paruh kedua dasawarsa 70-an. Sentralitas Harun Nasution di dalam jaringan itu tentu saja banyak ditopang kapasitas intelektualnya, dan kemudian kedudukan formalnya sebagai rektor sekalibus salah seorang pengajar di IAIN.[3]


2.                  Pemikiran Harun Nasution
A.      Peranan Akal 
     Bukanlah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal dalam system teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas Mogill, Mentreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi suatau aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian: “Akal melambangkan kekuatan manusia”.
Karena akal manusia mempunyai kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.[4]
Bukanlah secara kebetulan Harun Nasution meilih problematika akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menetukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemahnya kekuatan akal manusia, bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.”[5]
Dalam sejarah Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, akan tetapi dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam sendiri. Pemikiran akal dalam Islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya apabila ada penulis-penulis, baik di kalangan Islam sendiri maupun di kalangan non-Islam, yang berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.[6]

B.     Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution. Pada dasarnya dibangun atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lain-lain) yang memandang perlu untuk kembali kepada teologi Islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat Islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat Islam. Menurut Harun Nasution, umat Islam hendaklah mengubah teologi yang berwatak free-will rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khazanah Islam klasik sendiri yakni teologi Mu’tazilah.[7]

C.      Hubungan akal dan wahyu
Salah satu focus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu memang menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an. Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.[8] Dalam pemikiran Islam, baik di bidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi di bidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk memahami teks wahu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran Islam sebenarnya bukan akal dan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan lain dari teks wahyu itu juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam Islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.[9]

3.      Karya-Karya Harun Nasution
Disamping sebagai seorang pengajar, Harun Nasution juga dikenal sebagai penulis.Beberapa buku yang pernah ditulis oleh Harun Nasution antara lain :
  • Akal dan Wahyu dalam Islam (1981)
  • Filsafat Agama (1973)
  • Islam Rasional (1995)
  • Sejarah Pemikiran dan Gerakan (1975)
  • islam ditinjau dari berbagai aspeknya
  • teologi islam

BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan

Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana beliau memilki beberapa pemikiran-pemikiran terkait dengan masalah ini, di antaranya yaitu: beliau pernah menulis bahwa Akal Melambangkan Kekuatan Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah manusia dapat melakukan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan hidupnya. Dengan akal manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya akal manusia maka bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.
Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka, maka dari itu beliau memiliki pemikiran tentang pembaharuan teologi. Beliaupun berpendapat bahwa ada hubungan antara akal dan wahyu. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.

B.       Saran

Sebagai manusia biasa yang jauh dari kesempurnaan dan karena keterbatasan dan kemampuan yang penulis miliki, maka kiranya kepada Dosen pengajar dapat mengoreksi makalah ini, apabila terdapat adanya kesalahan-kesalahan baik dalam penyajian materi maupun dari segi penulisan yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditentukan sehingga dapat menjadi bahan acuan bagi penulisan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihon dan Abdul Razak.2003. Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia
Anwar, Rosihon dan Abdul Razak.2001. Ilmu Kalam, Bandung, CV. Pustaka Setia
Halim, Abdul. 2001. Teologi Islam asional. Jakarta: Ciputat Pers
Nasution, Harun. 1983. Teologi Islam: aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press.
Nasution, Harun.  1980. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press
Uchrowi, Zaim dan Abdul Rozak, 2003. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia






[1] Abdul Halim. Teologi Islam Rasional. (Jakarta: Ciputat Pers, 2001) hlm. 3.
[2] Zaim Uchrowi dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hlm. 240.
[3] Ibid., hlm. 241.
[4] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1983) hlm. 56.

[5] Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,( Jakarta: UI Press, 1983),   hlm.56.

[6] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: UI Press, 1980) hlm. 101
[7] Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001) hlm.240
[8] Anwar, Rosihan dan Abdul Razak, Ilmu Kalam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003) hlm. 243.
[9] Ibid., hlm. 243

0 komentar:

Posting Komentar