Sabtu, 28 Oktober 2017

// // Leave a Comment

MAKALAH HADITS PEMIMPIN YANG WAJIB DIJAUHI ( PEMIMPIN ZHALIM )

MAKALAH HADITS
PEMIMPIN YANG WAJIB DIJAUHI ( PEMIMPIN ZHALIM )
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Hadits


DOSEN PEMBIMBING
AHMAD ISNAENI, S.Ag, M. A




DISUSUN OLEH

TRIMO PRABOWO                     123104005

 
 FAKULTAS UHULUDIN
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
LAMPUNG
2013

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaiikum. Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.
Alhamdulillah berkat rahmat dan anugerah-Nya makalah berjudul Pemimpin Yang Wajib Dijahui ( Pemimpin Zhalim), ini bisa diselesaikan.
Dengan kerendahan hati disadari bahwa dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan serta hambatan. Namun berkat bimbingan serta motifasi dari berbagai pihak akhirnya penulisan makalah ini bisa diselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada Dosen pembimbing serta pihak-pihak yang bersangkutan. Semoga bantuan dan amal baik yang telah di berikan pada penulis, mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT Amin.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka penulis senantiasa terbuka untuk menerima masukan dan kritik yang membangun demi penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pambaca dan penulis khususnya.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb


Bandar Lampung, 13 Desember  2013





Penyusun



BAB I
PENDAHULUAN
1.                  Latar Belakang
Akhir-akhir ini kita melihat banyak perpecahan antar umat islam bahkan sampai melakukan tindak anarkis kepada saudara sesama muslim. karena ketidakpuasan suatu kelompok muslim  itu kepada sistem pemerintahan kita. Hal itu sudah marak beritanya misalkan dari demonstrasi sampai bom bunuh diri sebagai wujud protes kepada pemimpin yang zalim (tidak mengikuti hukum islam), apakah itu ajaran islam yang benar, atau justru merupakan suatu kebodohan yang berdampak kepada kerugian yang lebih besar? tentu saja hal itu merupakan suatu kejahilan karena walaupun mereka tahu apa itu Islam dan mereka meyakini agama islam sebagai agama mereka akan tetapi mereka tidak mau berpikir ulang apakah hal itu (anarkisme berlabel jihad) dibolehkan atau tidak dalam Islam.
2.                  Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, salah satu diantaranya adalah:
A.       Bagaimanakah hadits Ancaman bagi pemimpin yang zhalim?
B.       Apa Balasan bagi Pemimpin yang zhalim?
C.       Apakah seseorang harus selalu taat kepada seorang pemimmpin?
D.       Bagaimana sikap seorang muslim jika mendapati pemimpin yang zhalim?






BAB II
PEMBAHASAN

1.      Ancaman Bagi Pemimpin Yang Zhalim

أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِمَامٌ جَائِرٌ
“Orang yang paling pedih/keras siksanya pada hari kiamat adalah pemimpin/imam yang dhalim”.[1]
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ فَسَقَةٌ جَوَرَةٌ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبَهُمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنهُ، وَلَنْ يَرِدَ عَلَيَّ الْحَوْضَ.
”Akan ada nanti para pemimpin yang fasiq lagi jahat. Barangsiapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong kedhalimannya (atas rakyatnya), maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan termasuk golongannya. Ia tidak akan sampai pada Al-Haudl (telaga)”.[2]
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرفًا وَلَا عَدْلًا
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan jahat atau melindungi pelaku kejahatan, maka baginya laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya amal wajib maupun amal sunnah (yang ia kerjakan)”.[3]
الظُّلْمُ، ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Kedhaliman itu merupakan kegelapan di hari kiamat”.[4]

2.      Azab Neraka Bagi Pemimpin Zhalim
أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ.
”Pemimpin mana saja yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka”.[5]
مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ. متفق عليه. وفي لفظ : يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاسِ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
”Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]. Dalam lafadh yang lain disebutkan : ”Ia mati dimana ketika matinya itu ia dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan baginya surga”.[6]

3.      Batas Ketaatan Kepada Pemimpin
A.    Selama Penguasa Muslim Masih Menegakkan Sholat
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تَبْغُضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ. قالوا : يا رسول الله ! أفلا ننابذهم ؟ قال : لَا، مَا أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ
“Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah (orang) yang kalian membencinya dan mereka pun membenci kalian, kalian melaknatnya dan mereka pun melaknat kalian”. Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, tidakkah kita boleh menyingkirkannya ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak, selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kalian”.[7]
Hadits di atas menjelaskan bahwa; jika seorang Imam bermaksiat kepada Allah SWTseperti berbuat murka dan melaknati kepada rakyatnya, berlaku kejam dan tidak adil atau yang semisalnya maka kefasikan atau kezoliman seorang Imam tidak dapat menggugurkan kewajiban rakyat untuk mentaati perintahnya selama mereka masih menegakkan sholat bersama rakyatnya.



B.     Selama Perintahnya Adalah Perkara Yang Ma'ruf & Bukan Perintah Untuk Bermaksiat

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا                                                

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa: 59)

Orang-orang beriman diperintahkan agar mentaati perintah-perintah Allah SWTdan Rosul-Nya secara mutlak. Karena kebenaran adalah segala sesuatu yang datang dari Allah SWT,  perintah-Nya pasti benar dan tidak mungkin salah. Dan Rosul-Nya adalah hamba Alloh yang ma'sum yakni terpelihara dari kesalahan.

Adapun manusia selain nabi dan rosul seperti Imam atau ulil amri mereka bukanlah manusia yang ma'sum, oleh karena itu pada ayat di atas lafadz ulil amri tidak diawali dengan kalimat - atii'uu – sebagaimana lafadz Alloh dan Rosul hal ini menunjukkan bahwa ketaatan seorang muslim kepada ulil amri tidak bersifat mutlak tetapi hal itu hanya sebatas dalam perkara yang ma'ruf.







4.      Sikap Seorang Muslim Jika Mendapati Pemimpin Yang Zhalim
A.    Sikap Pertama. Memberikan Nasihat.
Allah Ta’ala berfirman:
 “Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى ) adalah melampaui batas dalam kesombongan dan melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman al ‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal. 584)
Alasan yang jelas kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas, sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Inilah ciri khas penguaza zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Untuk itu memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling utama) (HR. Imam Abu Daud), dan jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada, bersama Hamzah bin Abdul Muthalib (HR. Imam Hakim, shahih, dan disepakati Imam Adz Dzahabi)
B.     Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
 “Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
“Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi: 28)
Taat kepeda penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
C.    Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yang masyru’ dan logis.
Menurut Ibnu Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
Imam at Taftazani dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.

Imam Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”

Imam al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.
Imam al Ghazali berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia tidak dapat berkuasa.”
Imam al Iji mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya, atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan agama.”
Imam Ibnu Hazm berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang lain.”
Sebenarnya para ulama ini berbeda pendapat Menurut tentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i dan Imam al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran. Imam al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib, fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam al Mawardi menyatakan; ketidak adilan dan cacat fisik.
Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits) yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya.











KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa :
Ancaman bagi pemimpin yang zhalim sangatlah jelas, yang mana  pemimpin zhalim kelak akan mendapatkan siksa yang amat pedih. Sesuai dengan hadits 
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِمَامٌ جَائِرٌ
“Orang yang paling pedih/keras siksanya pada hari kiamat adalah pemimpin/imam yang dhalim”.
Selain itu pemimpin yang zhalim pula akan merndapatkan balsan yang setimpal di akhirat dan akan di tempatkan pada suatu tempat, yakni Neraka
أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ.
”Pemimpin mana saja yang menipu rakyatnya, maka tempatnya di neraka”
Dan apabila mendapati seorang pemimipin yang demikian maka ada dual hal yang perlu dipertimbangkan yakni;
v  Tetap taat, apabila pemimpin tersebut masih menegakkan sholat bersama rakyatnya.serta selama perintah tersebut perintah yang ma’ruf.
v  Tidak taat, apabila pemimpin tersebut melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan serta pemimpin yang mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.
Dengan demikian, sebagai muslim yang baik apabila mendapati pemimpin yang zhalim hendaklah menasehati sebisa mungkin untuk kembali pada jalan yang lurus.





[1]    Dla’iif. Diriwayatkan oleh Ahmad (3/22 & 55), At-Tirmidziy (no. 1329), Abu Ya’laa (no. 1003 & 1081), Ath-Thabaraniy dalam Al-Ausath dan Al-Kabiir sebagaimana dinyatakan dalam Al-Majma’ (5/236), serta Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (10/88); semuanya dari hadits Abu Sa’iid Al-Khudriy. At-Tirmidziy berkata : “Hadits Abu Sa’iid adalah hadits hasan ghariib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini”. Aku berkata : “Dalam sanadnya terdapat ‘Athiyyah Al-‘Aufiy, ia seorang yang lemah, matruukul-hadiits”. Adapun yang shahih dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan lafadh :
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Orang yang paling pedih/keras siksanya pada hari kiamat adalah para perupa (penggambar dan pematung)”.
[2]     Shahih. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2259), An-Nasa’iy (7/160), Ahmad (4/243), Ath-Thayalisi (no. 1064), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (19/212, 296, 297, 298), Ibnu Hibban (no. 279), Al-Haakim (1/79), dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan (8/165); semuanya dari hadits Ka’b bin ‘Ujrah radliyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata : “Hadits shahih”. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Ia mempunyai syaahid dengan sanad shahih sesuai syarat Muslim dari hadits Jaabir bin ‘Abdillah yang dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq (no. 20719), Ahmad (3/321), Al-Haakim (4/422), dan Ibnu Hibban (no. 1723).
[3]    Shahiih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (no. 1870 & 3179), Muslim (no. 1370), Abu Dawud (no. 2034), At-Tirmidziy (no. 2128), An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (no. 4278), Ahmad (no. 615 & 1037), Ibnu Abi Syaibah (14/189), dan Abu Ya’laa (no. 263); semuanya dari hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib sewaktu mengkhabarkan lembaran (shahiifah) dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur.
[4]     Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 2447), Muslim (no. 2579), Ahmad (2/92, 106, 136, 137, 156, dan 159), dan At-Tirmidzi (no. 2030); dari hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma.
[5]     Shahih. Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Ahmad (5/25), dan yang semisal dengannya oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (20/506, 513, 514, 515, 516, 517, 518, 519, 524, 533, dan 534); dari hadits Ma’qil bin Yasaar, dimana asal hadits tersebut dalam Ash-Shahihain.
[6]     Shahih. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 7150-7151), Muslim (no. 142), Ad-Daarimiy (2/324), Al-Baghawi dalam Al-Ja’diyaat (no. 3261), Ath-Thayaalisiy (no. 928-929), Ahmad (5/25, 27), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (2/449, 455, 456, 457, 458, 459, 469, 472, 473, 476, dan 478), Ibnu Hibban (no. 4495), Al-Baihaqi (9/41), dan Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 4278); semuanya dari hadits Ma’qil bin Yasaar radliyallaahu ‘anhu.
[7]    Shahiih. Diriwayatkan oleh Ahmad (6/24 & 28), Muslim (no. 1855), Ad-Daarimiy (2/324), Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (no. 1071-1072), Ibnu Hibbaan (no. 4589), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (8/158); semuanya dari hadits ‘Auf bin Maalik Al-Asyja’iy.

0 komentar:

Posting Komentar