MAKALAH HADITS
PEMIMPIN YANG WAJIB DIJAUHI ( PEMIMPIN ZHALIM )
Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah
Hadits
DOSEN PEMBIMBING
AHMAD ISNAENI, S.Ag, M. A
DISUSUN OLEH
TRIMO
PRABOWO 123104005
FAKULTAS UHULUDIN
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
LAMPUNG
2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaiikum.
Wr. Wb
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta
keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.
Alhamdulillah
berkat rahmat dan anugerah-Nya makalah berjudul Pemimpin Yang Wajib Dijahui (
Pemimpin Zhalim), ini bisa diselesaikan.
Dengan kerendahan hati disadari bahwa dalam penulisan
makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan serta hambatan. Namun berkat bimbingan serta motifasi dari berbagai pihak akhirnya
penulisan makalah ini bisa diselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada Dosen pembimbing serta
pihak-pihak yang bersangkutan. Semoga bantuan dan amal baik yang telah di
berikan pada penulis, mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT Amin.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka penulis senantiasa terbuka untuk menerima masukan
dan kritik yang membangun demi penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhirnya,
penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pambaca dan
penulis khususnya.
Wassalamu’alaikum.
Wr. Wb
Bandar
Lampung, 13 Desember 2013
Penyusun
|
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Akhir-akhir ini
kita melihat banyak perpecahan antar umat islam bahkan sampai melakukan tindak
anarkis kepada saudara sesama muslim. karena ketidakpuasan
suatu kelompok muslim itu kepada sistem pemerintahan kita. Hal itu sudah
marak beritanya misalkan dari demonstrasi sampai bom bunuh diri sebagai wujud
protes kepada pemimpin yang zalim (tidak mengikuti hukum islam), apakah itu
ajaran islam yang benar, atau justru merupakan suatu kebodohan yang berdampak
kepada kerugian yang lebih besar? tentu saja hal itu merupakan suatu kejahilan
karena walaupun mereka tahu apa itu Islam dan mereka meyakini agama islam
sebagai agama mereka akan tetapi mereka tidak mau berpikir ulang apakah hal itu
(anarkisme berlabel jihad) dibolehkan atau tidak dalam Islam.
2.
Rumusan
Masalah
Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, salah satu diantaranya adalah:
A.
Bagaimanakah hadits Ancaman
bagi pemimpin yang zhalim?
B.
Apa Balasan bagi
Pemimpin yang zhalim?
C.
Apakah seseorang harus selalu taat kepada
seorang pemimmpin?
D.
Bagaimana sikap seorang muslim jika mendapati
pemimpin yang zhalim?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Ancaman Bagi Pemimpin Yang Zhalim
أَشَدُّ النَّاسِ
عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِمَامٌ جَائِرٌ
سَيَكُونُ أُمَرَاءُ
فَسَقَةٌ جَوَرَةٌ، فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبَهُمْ، وَأَعَانَهُمْ عَلَى
ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنهُ، وَلَنْ يَرِدَ عَلَيَّ الْحَوْضَ.
”Akan ada nanti para pemimpin yang
fasiq lagi jahat. Barangsiapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong
kedhalimannya (atas rakyatnya), maka ia bukan termasuk golonganku dan aku bukan
termasuk golongannya. Ia tidak akan sampai pada Al-Haudl (telaga)”.[2]
مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا
أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِيْنَ، لَا يُقْبَلُ مِنْهُ صَرفًا وَلَا عَدْلًا
“Barangsiapa yang melakukan perbuatan
jahat atau melindungi pelaku kejahatan, maka baginya laknat dari Allah, para
malaikat, dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya amal wajib maupun amal
sunnah (yang ia kerjakan)”.[3]
الظُّلْمُ، ظُلُمَاتٌ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
2. Azab Neraka Bagi
Pemimpin Zhalim
أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ
رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ.
مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ
رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ
الجَنَّةَ. متفق عليه. وفي لفظ : يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاسِ
لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
”Barangsiapa yang diangkat oleh Allah
untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka
Allah haramkan baginya surga” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]. Dalam lafadh
yang lain disebutkan : ”Ia mati dimana
ketika matinya itu ia dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan
baginya surga”.[6]
3.
Batas Ketaatan Kepada
Pemimpin
A.
Selama Penguasa Muslim Masih
Menegakkan Sholat
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ
الَّذِيْنَ تَبْغُضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ، وَتَلْعَنُونَهُمْ
وَيَلْعَنُونَكُمْ. قالوا : يا رسول الله ! أفلا ننابذهم ؟ قال : لَا، مَا
أَقَامُوا فِيْكُمُ الصَّلَاةَ
“Seburuk-buruk
pemimpin kalian adalah (orang) yang kalian membencinya dan mereka pun membenci
kalian, kalian melaknatnya dan mereka pun melaknat kalian”.
Para shahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, tidakkah kita boleh
menyingkirkannya ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak,
selama mereka mendirikan shalat di tengah-tengah kalian”.[7]
Hadits di atas menjelaskan bahwa; jika
seorang Imam bermaksiat kepada Allah SWTseperti berbuat murka dan melaknati
kepada rakyatnya, berlaku kejam dan tidak adil atau yang semisalnya maka
kefasikan atau kezoliman seorang Imam tidak dapat menggugurkan kewajiban rakyat
untuk mentaati perintahnya selama mereka masih menegakkan sholat bersama
rakyatnya.
B.
Selama Perintahnya Adalah Perkara Yang Ma'ruf & Bukan
Perintah Untuk Bermaksiat
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisaa: 59)
Orang-orang beriman diperintahkan agar mentaati
perintah-perintah Allah SWTdan Rosul-Nya secara mutlak. Karena kebenaran adalah
segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, perintah-Nya pasti benar dan
tidak mungkin salah. Dan Rosul-Nya adalah hamba Alloh yang ma'sum yakni
terpelihara dari kesalahan.
Adapun manusia selain nabi dan rosul
seperti Imam atau ulil amri mereka bukanlah manusia yang ma'sum, oleh karena
itu pada ayat di atas lafadz ulil amri tidak diawali dengan kalimat -
atii'uu – sebagaimana lafadz Alloh dan Rosul hal ini menunjukkan bahwa
ketaatan seorang muslim kepada ulil amri tidak bersifat mutlak tetapi hal itu
hanya sebatas dalam perkara yang ma'ruf.
4.
Sikap Seorang Muslim Jika
Mendapati Pemimpin Yang Zhalim
A. Sikap Pertama. Memberikan Nasihat.
Allah Ta’ala
berfirman:
“Pergilah engkau berdua (Musa dan Harun)
kepada Fir’aun karena ia telah thagha” (QS. Thaha: 43)
Thagha (طغى ) adalah melampaui batas dalam
kesombongan dan melakukan penindasan (diktator) (Khalid Abdurrahman al ‘Ik,
Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 313) juga berarti menyimpang
dan sesat (ibid, hal. 314) dan kufur kepada Allah ‘Azza wa Jalla (Ibid, hal.
584)
Alasan yang jelas
kenapa Fir’aun harus diluruskan karena ia melampaui batas, sombong, menindas,
sesat, kufur dan membangkang kepada Allah Ta’ala. Inilah ciri khas penguaza
zalim, bisa terjadi pada siapa saja, di mana saja dan kapan saja.
Untuk itu
memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla
wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan
kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan
merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja
yang menyimpang. Mengutarakan nasihat dan kalimat yang haq kepada penguasa yang
zalim merupakan amal mulia, bahkan disebut sebagai afdhalul jihad (jihad paling
utama) (HR. Imam Abu Daud), dan jika ia mati terbunuh karena amar ma’ruf nahi
munkar kepada penguasa yang zalim maka ia termasuk penghulu para syuhada,
bersama Hamzah bin Abdul Muthalib (HR. Imam Hakim, shahih, dan disepakati Imam
Adz Dzahabi)
B. Sikap Kedua. Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati
penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya,
keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah
yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak
kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah
menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di
antara mereka.
Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
“Hai orang-orang
beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di
antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
“Dan janganlah kamu taati orang-orang yang
melampuai batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak
mengadakan perbaikan.” (QS. Asy Syu’ara: 151-152)
“Dan janganlah
kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami dan ia
mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.” (QS. Al Kahfi:
28)
Taat kepeda
penguasa yang zalim merupakan bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam dosa dan
kesalahan, padahal Allah Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kalian saling tolong
menolong dalam dosa dan kesalahan.” (QS. Al Maidah:2)
C. Sikap Ketiga: Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin
merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya
(Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan
yang masyru’ dan logis.
Menurut Ibnu
Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan
pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian
kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap
pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga
Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun
menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang
tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj.
Ketahuilah, yang dilawan oleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil,
yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan
adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang
banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai
perlawanan ini tidak sama.
Imam at Taftazani
dalam Syarah al Aqaid an Nafsiyah meriwayatkan bahwa Imam Asy Syafi’i
radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa Imam bisa dicopot karena kefasikan dan
pelanggarannya, begitu juga setiap hakim dan pemimpin lainnya.
Imam Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.
Imam Abdul Qahir al Baghdadi mengatakan, “Jika pemimpin menjauhkan diri dari penyimpangan, maka kepemimpinannya dipilih karena keadilannya, sehingga kesalahannya tertutup oleh kebenaran. Jika ia menyimpang dari jalan yang benar, maka harus dilakukan pergantian, mengadilinya, dan mengambil kekuasaannya. Dengan demikian, ia telah diluruskan oleh umat atau ditinggalkan sama sekali.”
Imam al Mawardi menyatakan ada dua hal seorang Imam telah keluar dari kepemimpinannya, yaitu ia tidak adil dan cacat fisiknya. Cacat keadilannya bisa bermakna mengikuti hawa nafsu dan melakukan syubhat. Ketidakadilan bisa juga bersifat individu seperti meninggalkan shalat, minum khamr, atau urusan umum seperti menyalahgunakan jabatan.
Imam al Ghazali
berkata, “Seorang penguasa yang zalim hendaknya dicopot dari kekuasaannya; baik
dengan cara ia mengundurkan diri atau diwajibkan untuk dicopot. Dengan itu ia
tidak dapat berkuasa.”
Imam al Iji
mengatakan, “Umat berhak mencopot Imam tatkala ada sebab yang mengharuskannya,
atau sebagaimana yangdikatakan pensyarah, sebab yang membahayakan umat dan
agama.”
Imam Ibnu Hazm
berkata, “Imam Ideal wajib kita taati, sebab ia mengarahkan manusia dengan
kitabullah dan sunah rasulNya. Jika ada menyimpang dari keduanya, maka harus
diluruskan, bahkan jika perlu diberi hukuman had . jika hal itu tidak
membuatnya berubah, maka ia harus dicopot dari jabatannya dan diganti orang
lain.”
Sebenarnya para
ulama ini berbeda pendapat Menurut tentang alasan pencopotannya. Imam Syafi’i
dan Imam al Haramain mensyaratkan jika penguasa itu fasik dan melanggar. Imam
asy Syahrustani mengatakan; kebodohan, pelanggaran, kesesatan, dan kekufuran.
Imam al Baqillani menyebutkan jika Imam telah kufur, meninggalkan shalat wajib,
fasik, mengambil harta orang lain, mengajak ke yang haram, mempersempit hak
sosial, dan membatalkan hukum-hukum syariat. Imam al Mawardi menyatakan;
ketidak adilan dan cacat fisik.
Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits) yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya.
Sementara Ulama lain (pandangan ahli hadits) yang berpendapat agar kita bersabar terhadap pemimpin yang zalim, ada juga ulama yang membenarkan keduanya, antara bersabar atau memberikan perlawanan agar ia dicopot dari jabatannya.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa :
Ancaman
bagi pemimpin yang zhalim sangatlah jelas, yang mana pemimpin zhalim kelak akan mendapatkan siksa
yang amat pedih. Sesuai dengan hadits
أَشَدُّ النَّاسِ
عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِمَامٌ جَائِرٌ
“Orang
yang paling pedih/keras siksanya pada hari kiamat adalah pemimpin/imam yang
dhalim”.
Selain itu pemimpin yang zhalim pula akan merndapatkan
balsan yang setimpal di akhirat dan akan di tempatkan pada suatu tempat, yakni Neraka
أَيُّمَا رَاعٍ غَشَّ
رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فِي النَّارِ.
”Pemimpin mana saja yang menipu
rakyatnya, maka tempatnya di neraka”
Dan apabila mendapati seorang pemimipin yang demikian maka ada dual hal
yang perlu dipertimbangkan yakni;
v
Tetap taat, apabila pemimpin
tersebut masih menegakkan sholat bersama rakyatnya.serta selama perintah tersebut
perintah yang ma’ruf.
v Tidak taat, apabila pemimpin tersebut melampuai
batas.(yaitu) mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan
perbaikan serta
pemimpin yang mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat berlebihan.
Dengan
demikian, sebagai muslim yang baik apabila mendapati pemimpin yang zhalim
hendaklah menasehati sebisa mungkin untuk kembali pada jalan yang lurus.
[1]
Dla’iif. Diriwayatkan oleh Ahmad (3/22 & 55),
At-Tirmidziy (no. 1329), Abu Ya’laa (no. 1003 & 1081), Ath-Thabaraniy dalam
Al-Ausath dan Al-Kabiir sebagaimana dinyatakan dalam Al-Majma’
(5/236), serta Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (10/88); semuanya dari hadits
Abu Sa’iid Al-Khudriy. At-Tirmidziy berkata : “Hadits Abu Sa’iid adalah hadits hasan
ghariib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalan ini”. Aku berkata :
“Dalam sanadnya terdapat ‘Athiyyah Al-‘Aufiy, ia seorang yang lemah, matruukul-hadiits”.
Adapun yang shahih dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah
dengan lafadh :
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Orang
yang paling pedih/keras siksanya pada hari kiamat adalah para perupa
(penggambar dan pematung)”.
[2]
Shahih.
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2259), An-Nasa’iy (7/160), Ahmad (4/243),
Ath-Thayalisi (no. 1064), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (19/212, 296, 297, 298), Ibnu Hibban (no. 279), Al-Haakim
(1/79), dan Al-Baihaqi dalam As-Sunan
(8/165); semuanya dari hadits Ka’b bin ‘Ujrah radliyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata : “Hadits shahih”. Hadits
ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Ia mempunyai syaahid dengan sanad shahih sesuai
syarat Muslim dari hadits Jaabir bin ‘Abdillah yang dikeluarkan oleh
‘Abdurrazzaq (no. 20719), Ahmad (3/321), Al-Haakim (4/422), dan Ibnu Hibban
(no. 1723).
[3] Shahiih.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy (no. 1870 & 3179), Muslim (no. 1370), Abu
Dawud (no. 2034), At-Tirmidziy (no. 2128), An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa (no.
4278), Ahmad (no. 615 & 1037), Ibnu Abi Syaibah (14/189), dan Abu Ya’laa
(no. 263); semuanya dari hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib sewaktu mengkhabarkan lembaran
(shahiifah) dari beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur.
[4]
Shahih.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 2447), Muslim (no. 2579), Ahmad (2/92, 106,
136, 137, 156, dan 159), dan At-Tirmidzi (no. 2030); dari hadits ‘Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhuma.
[5]
Shahih.
Diriwayatkan dengan lafadh ini oleh Ahmad (5/25), dan yang semisal dengannya
oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (20/506,
513, 514, 515, 516, 517, 518, 519, 524, 533, dan 534); dari hadits Ma’qil bin
Yasaar, dimana asal hadits tersebut dalam Ash-Shahihain.
[6]
Shahih.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 7150-7151), Muslim (no. 142), Ad-Daarimiy
(2/324), Al-Baghawi dalam Al-Ja’diyaat
(no. 3261), Ath-Thayaalisiy (no. 928-929), Ahmad (5/25, 27), Ath-Thabarani
dalam Al-Kabiir (2/449, 455, 456,
457, 458, 459, 469, 472, 473, 476, dan 478), Ibnu Hibban (no. 4495), Al-Baihaqi
(9/41), dan Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah
(no. 4278); semuanya dari hadits Ma’qil bin Yasaar radliyallaahu ‘anhu.
[7]
Shahiih. Diriwayatkan oleh Ahmad (6/24 & 28), Muslim
(no. 1855), Ad-Daarimiy (2/324), Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah (no.
1071-1072), Ibnu Hibbaan (no. 4589), dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (8/158);
semuanya dari hadits ‘Auf bin Maalik Al-Asyja’iy.
0 komentar:
Posting Komentar