Alhamdulillah
berkat rahmat dan anugerah-Nya makalah berjudul Hubungan Dakwah dengan Politik,
sebagai tugas mata kuliah Dakwah Pembangunan, ini bisa diselesaikan.
Dengan kerendahan hati disadari bahwa dalam penulisan
makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan serta hambatan. Namun berkat bimbingan serta motifasi dari berbagai pihak akhirnya
penulisan makalah ini bisa diselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada Dosen pembimbing serta
pihak-pihak yang bersangkutan. Semoga bantuan dan amal baik yang telah di
berikan pada penulis, mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT Amin.
Dalam
penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan makalah ini, maka penulis senantiasa terbuka untuk menerima masukan
dan kritik yang membangun demi penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhirnya,
penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pambaca dan
penulis khususnya.
Wassalamu’alaikum.
Wr. Wb
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL...................................................................................... i
KATA
PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR
ISI.................................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1.Latar
Belakang........................................................................................... 1
1.2.Rumusan
Masalah....................................................................................... 2
1.3.Tujuan
penulisan......................................................................................... 2
1.4.Manfaat penulisan...................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN............................................................................... 3
2.1.
Pengertian Dakwah
dan Politik............................................................ 3
2.2.
Politik dalam
Islam............................................................................... 5
2.3.
Kedudukan
Politik dalam Islam........................................................... 7
2.4.
Praktik Politik dalam Gerakan Dakwah
Nabi Muhammad SAW........ 10
2.5.
Dakwah Politik
dan Politik Dakwah.................................................... 12
2.6.
Peran Politik
dalam Dakwah................................................................ 15
2.7.
Karakteristik
Politisi dalam Dakwah.................................................... 16
2.8.
Langkah Menuju
Politisi Dakwah........................................................ 20
2.9.
Hubungannya
antara Dakwah Dengan Politik..................................... 22
2.10.
Hakikat dari
Hubungan antara Dakwah Dengan Politik...................... 23
BAB III PENUTUP....................................................................................... 25
3.1. Kesimpulan................................................................................................ 25
3.2. Saran.......................................................................................................... 26
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Apakah politisi
dapat menjadi da’i? Atau apakah dai
dapat menjadi politisi? Dan apakah mungkin kegiatan dakwah menjadi kegiatan
politik? Atau sebaliknya kegiatan politik menjadi kegiatan dakwah? Menjawab
beberapa pertanyaan di atas tidaklah mudah, apabila kita melihat persepsi
masyarakat tentang dakwah dan politik. Dakwah dan politik adalah dua kata yang
kontra bagi mereka. Hal itu karena politik dipahami sebagai aktifitas dunia,
sedang dakwah dipahami sebagai aktifitas akhirat. Yang pada gilirannya dipahami
bahwa dakwah tak pantas memasuki wilayah politik, dan politik haram memasuki
wilayah dakwah. Dakwah adalah pekerjaan para ustadz, dan politik pakerjaan para
politisi
Berbicara masalah pilitik dakwah
dan dakwah politik sebenarnya berasal dari kerancuan dalam berfikir tentang
apakah dakwah dan politik itu bertentangan atau malah kedua hal itu tidak dapat
dipisahkan. Banyak orang berfikir mengenai kedua hal ini, tentang pengertian yang
sama tentang dua hal tersebut. Padahal jika dikaji lebih mendalam kedua hal ini
mempunyai hubungan yang sangat erat antara dakwah dengan politik yang menjadi
topik dalam makalah ini yang akan membahas Hubungan Dakwah dengan Politik. Dalam
makalah ini penulis akan berusaha mengupas degan seksama masalah dakwah politik
atau politik dakwah.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas timbul beberapa rumusan masalah,yakni;
1.2.1.
Apa pengertian
dakwah dan politik?
1.2.2.
Apa pengetian
politik dalam islam?
1.2.3.
Seperti apakah
kedudukan politik dalam islam?
1.2.4.
Adakah praktik
politik dalam gerakan dakwah nabi muhammad saw?
1.2.5.
Lantas apa itu
dakwah politik dan politik dakwah?
1.2.6.
Apa peran
politik dalam dakwah?
1.2.7.
Apa saja
karakteristik politisi dalam dakwah?
1.2.8.
Bagaimana
langkah menuju politisi dakwah?
1.2.9.
Apa hubungannya
antara dakwah dengan politik?
1.2.10.
Apa hakikat
dari hubungan antara dakwah dengan politik itu sendiri?
1.3.
Tujuan Makalah
Dalam penyusunan
makalah ini bukan semata-mata sekedar tulisan saja melainkan meiliki tujuan.
Adapun tujuan penulisan tersebut adalah:
1.3.1.
Untuk memenuhi
tugas individu pada mata kuliah Dakwah Pembangunan.
1.3.2.
Untuk menambah
wawasan pembaca dan penulis khususnya.
1.3.3.
Untuk
mempermudah dalam mempelajari dakwah yang berkaitan dengan politik secara
ringkas, padat dan jelas.
1.4.
Manfaat
Penulisan
Dalam
penyusunan makalah ini pula bukan semata-mata sekedar tulisan saja melainkan
meiliki manfaat. Adapun manfaatnya, yakni:
1.4.1.
Memberikan
wawasan para pembaca dan khususnya penulis tentang dakwah yang berkaitan dengan
politik.
1.4.2.
Membuka pandangan
baru dalam berdakwah dan berpolitik yang sejalan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian
Dakwah dan Politik
Ditinjau dari etimologi atau
bahasa, kata dakwah berasala dari bahasa Arab, yaitu da’a-yad’u-da’watan,
artinya mengajak, menyeru, memanggil. Secara terminologi, devinisi dakwah telah banyak dibuat
para ahli. Menurut M. Natsir, dakwah adalah usaha-uasha menyerukan dan
menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat manusia konsepsi islam
tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, dan yang meliputi al-amar
bi al-ma’ruf an-nahyu al-munkar dengan berbagai macam cara dan media yang
diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam perkehidupan
bermasyarakat dan kehidupan bernegara[1]
Dakwah sebagai mekanisma
penghayataan dan penyebaran cara hidup Islam, bukan gerakan Islam politik
sebagaimana yang dipraktikan dalam realiti kehidupan kaum Muslimin sekarang.
Dakwah merupakan gerakan yang berdisiplin dan iltizam kepada prinsip, pendekatan
dan amalan yang digariskan di dalam al-Qu’an dan al-Sunnah. Ia tidak terikat
kepada mana-mana ideologi dan kefahaman yang di luar daripada ajaran Islam.
Sebagaimana kata Abdul Karim Zaidan, Islam ialah tujuan dakwah dan hakikatnya
dan inilah tonggak pertama bagi dakwah. Rasulullah s.’a.w menggerakkan dakwah
kepada Islam dengan cara, uslub dan manhaj yang telah diwahyukan kepadanya oleh
Allah SWT dan termaktub di dalam al-Qur’an.
Salah satu daripada fungsi utama
dakwah ialah mengajak manusia supaya mengamalkan makruf dan mencegah munkar. Ia
bukan sahaja menjadi tugas sesuatu golongan di dalam masyarakat Islam, tetapi
menjadi tugas ummah keseluruhannya. Tidak memadai bagi seorang Muslim itu hanya
menjalani kehidu-pan yang soleh dan bertaqwa semata-mata untuk dirinya. Bahkan
ia mestilah berkerja untuk memandu, memimpin dan membawa petunjuk kepada alam
seluruhnya. Ia adalah pengabdi yang zuhud dan diwaktu yang sama pemimpin dan
pembimbing.
Kepentingn al-‘amru bi al-makruf dan al-nahyu
‘ani al-munkar dinyatakan oleh Imam al-Ghazali seperti berikut; “Al-amru bi
al-makruf dan al-nahyu ‘ani al-munkar adalah paksi terbesar agama ini. Ia
adalah tugasan yang untuknya Allah S.w.T mengutus para nabi sekaliannya. Jika
digolong tikarnya, diabaikan ilmu dan amalannya, terbengkalailah tugas
kenabian, merusutlah keagamaan, meluaslah kelemahan, berleluasalah kesesatan. Lalu
binasalah kehidupan hamba. Mereka mungkin tidak merasai kemusnahan, melainkan
pada hari perhitungan. Inilah yang paling kita takut ianya berlaku, dan sesungguhnya
kita untuk Allah SWT dan kepada-Nya kita kembali.
Jika ini berlaku terhapuslah
daripada paksi ini amalan dan ilmunya dan termusnah sama sekali bentuk dan
hakikatnya. Lalu hati dikuasai akhlak yang tiada ketegasan, dan terhapus amalan
meraqabah Pencipta. Maka mudahlah manusia mengikut hawa nafsu dan syahwat
sebagaimana binatang. Betapa mulianya di muka bumi ini orang beriman yang
sebenar-benar beriman yang tidak peduli celaan orang demi mendapat keridhoan
Allah SWT dan Islam yang murni yang dipegang oleh orang-orang beriman dengan
teguh dan dipatuhi dengan tekun itulah yang mencetuskan kekuatan yang
diperlukan umat Islam masa kini.[2]
Politik
berasal dari bahasa latin politicos atau politicus yang berarti
relating to citizen (hubungan warga negara). Sedangkan dalam bahasa arab
diterjemahkan dengan kata siyasah, kata ini diambil dari kata saasa-yasuusu
yang diartikan mengemudi, mengendalikan dan mengatur. Sedangkan menurut Abdul
Qadir Zallum, mengatakan bahwa politik atau siyasah memiliki makna mengatur
urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Dalam politik terdapat negara
yang berperan sebagai institusi yang mengatur secara praktis, Sedangkan rakyat
mengoreksi pemerintahan dalam melakukan tugasnya. Maka dapat disimpulkan
politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran
tersebut berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi.[3]
Makna
Politik Menurut Dunia Barat, Dalam sistem sekular,
politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditulis dalam buku The
Prince. Machiavelli mengajarkan bahwa:
a.
kekerasan (violence), brutalitas, dan
kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa.
b.
penaklukan total atas musuh-musuh
politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum)
c.
dalam menjalankan kehidupan politik seseorang
harus dapat bermain seperti binatang buas.
Karenanya,
praktik politik sistem sekular merupakan homo homini lupus, manusia menjadi
serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah, “Kiranya dapat
diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh
dan seorang politikus harus menipu” (It is thought that by the necessities of
his profession a soldier must kill and politici on lie) .
2.2.
Politik dalam
Islam
Politik dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah siyâsah, artinya: mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus
al-Muhîth, dalam kata kunci sâsa). Nabi saw. menggunakan istilah politik
(siyâsah) dalam salah satu hadisnya:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاََ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاََ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»
Bani Israil itu diurusi urusannya oleh para nabi (tasûsu hum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak khalifah. (HR Muslim).
Jadi, politik artinya adalah
mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan
kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan
melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam berarti mengurusi
urusan masyarakat melalui kekuasaan, melarang dan memerintah, dengan landasan
hukum atau syariah Islam.
Islam sebagai agama samawi yang
komponen dasarnya aqidah dan syari’ah, punya korelasi erat dengan
dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan
penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian
diatur dalam Syariat, sebagai catalog lengka dari perintah dan larangan Allah,
pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang
kompleks.[4]
Politik yang hanya dipahami sebagai
perjuangan mencapai kekuasaan dalam pemerintahyan, hanya akan mengaburkan
maknanya secara luas dan menutup konstribusi islam terhadap politik secara
umum. Sering dilupakan , bahwa islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural
dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas
korelasinya dengan Islam.
Politik Menurt Hasan Al Banna, yaitu:
“Politik adalah hal memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun
eksternal umat.” Intermal politik adalah “mengurus persolalan pemerintahan,
menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan
pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan
kebaikan, dan dikeritik jika mereka melakukan kekeliruan.” Sedang yang dimaksud
dengan eksternal politik adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa,
mengantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah
bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain
dalam urusan-urusannya.”
2.3.
Kedudukan Politik
dalam Islam
Islam agama
sempurna, mencakup seluruh urusan kehidupan manusia yang terdiri dari kehidupan
individu, keluarga, masyarakat, dan negara, serta segala aktifitas yang
meliputnya, seperti ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain sebagainya.
Islam tak memilah antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam setiap aktifitas
mengandung unsur dunia dan akhirat sekaligus. Shalat misalnya, dalam persepsi
banyak orang menanyakan, shalat apakah amalan akhirat. Tapi jika ditelaah lebih
dalam, dapat ditemukan bahwa shalat adalah amalan akhirat sekaligus amalan
dunia. Ia menjadi demikian karena:
a.
Shalat dilaksanakan
di dunia, pahalanya saja yang diperoleh di akhirat
b.
Shalat itu
dzikir, dan setiap yang berdzikir pasti mendapatkan ketenangan, dan ketenangan itu kebutuhan asasi manusia dalam
beraktifitas. Rasulullah SAW jika sedang gundah, beliau berkata kepada Bilal:
“Tenangkanlah kami dengan shalat hai Bilal!”
c.
Shalat sangat
dianjurkan dilaksanakan dgn berjamaah, dan bagi yang melaksanakannya
mendapatkan derajat 27 kali lipat dari pada yang shalat sendirian.
Shalat
berjamaah membuat kita dengan sendirinya bersilaturahim, mendidik kita hidup
bermasyarakat dan bernegara yang teratur dan rapi. Dalam shalat berjamaah harus
ada imam dan makmum yang semua tindakannya harus sesuai dengan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya, makmum harus taat pada imam, mengikuti semua gerakan dan perintah
imam, apabila tidak maka shalat seorang makmum tersebut tidak sah. Dan apabila
sang imam salah atau khilaf, maka wajib bagi makmum untuk menegurnya sampai
imam kembali kepada yang benar. Demikian pula seharusnya yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Contoh yang
lain, kegiatan jual beli, dalam persepsi banyak orang, ia adalah kegiatan
dunia. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, maka ia pun sekaligus menjadi
kegiatan akhirat. Hal itu, karena walaupun zhahirnya jual beli adalah amalan
dunia, tapi karena di dalamnya ada aturan main yang harus dipatuhi oleh
masing-masing penjual dan pembeli, dan jika mereka patuh pada atauran itu, maka
keduanya mendapatkan pahala yang akan diperolehnya di akhirat, tapi jika salah
satu atau keduanya menyalahi atuaran tersebut, maka yang berbuat salah
mendapatkan dosa, yang hukumannya akan ia dapatkan pula di akhirat. Oleh karena
itu Rasulullah SAW besabda;
“pedagang yang
jujur mendapatkan naungan arasy pada hari kiamat.”
Dengan
demikian, semua amalan, baik mahdhah maupun gairu mahdhah di dalam Islam,
memiliki kedudukan yang sama, termasuk di dalamnya politik. Bahkan jika politik
berarti kekuasaan, Utsman bin ‘Affan ra berkata: “Al Qur’an lebih memerlukan
kekuasaan dari pada kekuasaan membutuhkan Al Qur’an.”
Menurut imam Asy-Syafi’I,
politik harus sesuai dengan syariat islam, yaitu setiap upaya, sikap, dan
kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syariat. Tujuan itu adalah:
a)
Memelihara,
mengembangkan dan mengamalkan agama Islam.
b)
Memelihara
rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan umat.
c)
Memelihara jiwa
raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder
maupun suplementer.
d)
Memelihara
harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa
melampui batas maksimal dan mengurangi batas minimal.
e)
Memelihara
keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik maupun rohani.[5]
Islam memahami
politik bukan hanya yang berurusan dengan pemerintahan saja atau sebatas pada
poltik structural formal belaka, namun menyangkut juga kulturasi politik secara
luas. Dalam hal ini politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif
, legislative, maupun yudikatif. Lebih dari itu, dia meliputi serangkaian
kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani maupun
rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil
dengan lembaga kekuasaan.
Konstruksi
politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqh yang berbunyi, tasharruf
al-iman manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi
pada kemashlahatan rakyat atau masyarakat).[6]
Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan
tidak mungkin berdiri sendiri. Antara keduanya saling mendukung untuk
terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang dikehendaki oleh Islam.
Karena politik
bagian dari keuniversalan Islam, maka setiap muslim meyakini bahwa Islam
memiliki sistem politik yang bersumber dari Allah, dicontohkan oleh Rasulullah dan
dikembangkan oleh para sahabat dan salafussaleh, sesuai dengan dinamika
perkembangan hidup manusia setiap masa. Berikutnya setiap muslim pun siap
menjalankan sistem itu, dan tak akan menjalankan sistem yang lain, karena
kahawatir akan tergelincir pada langkah-langkah syaitan. Itulah bagian dari
pengertian firman Allah SWT;
“Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam
secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian adalah musuh yang nyata.”(Al-Baqarah:
208).
2.4.
Praktik Politik dalam Gerakan
Dakwah Nabi Muhammad SAW
Hubungan agama dengan politik terus
menjadi perbincangan yang tak bosan dibahas. Ada yang menyatakan bahwa dakwah
Rasulullah SAW. hanyalah merupakan gerakan keagamaan yang bersifat ritual,
spiritual dan moral belaka. Namun, realitas menunjukkan bahwa dakwah Nabi
Muhammad SAW. juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Siapapun yang
menelaah sirah Nabi Muhammad SAW. baik yang ada dalam as-Sunnah maupun al-Quran
akan menyimpulkan, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Beliau dan para Sahabat,
selain bersifat ritual, spiritual dan moral, juga merupakan dakwah yang
bersifat politik. Di antara hal-hal yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Dakwah
Nabi saw. menyerukan pengurusan masyarakat (ri‘âyah syu’ûn al-ummah). Ayat-ayat
Makiyyah banyak mengajari akidah seperti takdir, hidayah dan dhalâlah
(kesesatan), rezeki, tawakal kepada Allah, dan lain-lain. Ratusan ayat
berbicara tentang Hari Kiamat (kebangkitan manusia dari kubur, pengumpulan
manusia di padang mahsyar, pahala dan dosa, surga dan neraka, dan lain-lain). Tentang
pengaturan terkait akhirat seperti nasihat dan bimbingan, membangkitkan rasa
takut terhadap azhab Allah SWT, serta memberikan semangat untuk terus beramal
demi menggapai ridha-Nya.
Selain
itu, ratusan ayat al-Quran dan hadits di Makkah dan Madinah diturunkan kepada
Nabi tentang pengaturan masyarakat di dunia. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa,
wasiat, waris, nikah dan talak, taat pada ulil amri, mengoreksi penguasa
sebagai seutama-utama jihad, makanan dan minuman, pencurian, hibah dan hadiah
kepada penguasa, pembunuhan, pidana, hijrah, jihad, dan lain-lain. Semua ini
menegaskan bahwa apa yang didakwahkan Nabi SAW. bukan hanya persoalan ritual,
spiritual dan moral. Dakwah Nabi SAW. berisi juga tentang hal-hal pengurusan
masyarakat. Artinya, dilihat dari isinya dakwah Rasulullah SAW. juga bersifat
politik.
Rasulullah
melakukan pergulatan pemikiran. Pemikiran dan pemahaman batil masyarakat Arab
kala itu dikritisi. Terjadilah pergulatan pemikiran. Akhirnya, pemikiran dan
pemahaman Islam dapat menggantikan pemikiran dan pemahaman lama.
Konsekuensinya, hukum-hukum yang diterapkan di masyarakat pun berubah.
Rasulullah
SAW. dengan al-Quran menyerang kekufuran, syirik, kepercayaan terhadap berhala,
ketidakpercayaan akan Hari Kebangkitan, anggapan Nabi Isa as. sebagai anak
Tuhan, dan lain-lain. Hikmah, nasihat, dan debat secara baik terus dilakukan
oleh Nabi saw. Al-Quran mengabadikan hal ini;
ادْعُ
إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ
بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ
وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan ppengajaran yang baik, dan
berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah
yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl [16]:125).
Jelas,
ini merupakan aktivitas politik karena merupakan aktivitas ri‘âyah syu’ûn
al-ummah, mengurusi urusan rakyat. Setelah berhijrah dari Makkah ke Madinah,
Beliau mendirikan institusi politik berupa negara Madinah. Beliau langsung mengurusi
urusan masyarakat. Misalnya dalam bidang pendidikan Beliau menetapkan tebusan
tawanan Perang Badar dengan mengajari baca-tulis kepada sepuluh orang kaum
Muslim pertawanan. Dalam masalah pekerjaan Nabi SAW. mengeluarkan kebijakan
dengan memberi modal dan menyediakan lapangan pekerjaan berupa pencarian kayu
bakar untuk dijual (HR Muslim dan Ahmad). Nabi SAW. pernah menetapkan kebijakan
tentang lebar jalan selebar tujuh hasta (HR al-Bukhari). Beliau juga
mengeluarkan kebijakan tentang pembagian saluran air bagi pertanian (HR
al-Bukhari dan Muslim). Begitulah, Nabi SAW. sebagai kepala pemerintahan telah
memberikan arahan dalam mengurusi masalah rakyat.
Secara
langsung, Rasulullah SAW. menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis (kâtib)
setiap perjanjian dan kesepakatan, Harits bin Auf sebagai pemegang stempel
kepala negara (berupa cincin) Nabi SAW., Muaiqib bin Abi Fatimah sebagai
pendata rampasan perang (ghanîmah), Hudzaifah bin Yaman sebagai kepala pusat
statistik hasil buah-buahan di Yaman, dan lain-lain.
Berdasarkan
perilaku dakwah Nabi SAW. dan para Sahabatnya di atas, jelaslah, dakwah Beliau
tidak sekadar mencakup ritual, spiritual dan moral. Dakwah Beliau juga bersifat
politik, yakni mengurusi urusan umat dengan syariah. Karenanya, dakwah Islam
haruslah diarahkan seperti yang dilakukan Beliau. Politik tidak dapat dan tidak
boleh dipisahkan dari Islam. Tentu, sekali lagi, politik yang dimaksud bukanlah
politik Machiavellis atau sekular .
2.5.
Dakwah Politik
Dan Politik Dakwah
Antara dakwah dan politik terdapat
daerah yang saling bersinggungan, di samping banyak perbedaan. Aktivitas dakwah
sering berbau politik, demikian pula sebaliknya. Jika kurang jeli, sulit
membedakannya. Politik oleh sebagian kalangan diartikan sebagai kemahiran untuk
menghimpun kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitasnya, mengawasi dan
mengendalikan, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara
dan lembaga-lembaga lainnya. Dari pengertian di atas telah nampak jelas bahwa
orientasi politik adalah kekuasaan.
Adapun dakwah adalah seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar. Operasionalnya bisa menggunakan berbagai media, termasuk kekuasaan. Orientasi dakwah sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Kekuasaan bisa saja menjadi alatnya, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah.
Istilah politik dan dakwah islam terasa leleh sebagian orang adalah itu dua hal yang sangat kontras. Dakwah adalah gerakan yang bernafaskan islam yang mengajak manusia untuk amar maruf nahi munkar, sedangkan politik dari sebagian orang berpendapat tentang kekuasaan.
Adapun dakwah adalah seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar. Operasionalnya bisa menggunakan berbagai media, termasuk kekuasaan. Orientasi dakwah sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Kekuasaan bisa saja menjadi alatnya, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah.
Istilah politik dan dakwah islam terasa leleh sebagian orang adalah itu dua hal yang sangat kontras. Dakwah adalah gerakan yang bernafaskan islam yang mengajak manusia untuk amar maruf nahi munkar, sedangkan politik dari sebagian orang berpendapat tentang kekuasaan.
Namun
oleh sebagian orang memandang lain contoh M. Natsir. Beliau adalah tokoh dakwah
di era Soekarno. Dalam dakwahnya beliau mengambil ideologi islam dengan istilah
Modernitas Politik Islam yang mengandung arti sebagai sikap dan pandangan yang
berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai nilai kerohanian sosial dan politik
islam yang terkandung di dalam Al Quran dan sunnah Nabi dan menyesuaikannya
dengan perkembangan perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat islam.[7] Dalam
term politik seperti ini maka M. Natsir mewajibkan setiap umat islam untuk
berpolitik sebagai media dakwah.
Sebagai
konsekuen logis dari pernyataan ini, maka M. Natsir telah membuktikan dirinya
berjuang sebagai pimpinan partai politik islam yaitu Masyumi. Dalam gerakan
dakwahnya M. Natsir mempunyai kesesuain yang cukup dekat dengan gerakan dakwah
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai kepala agama
dan kepala negara. Pada periode Madinah, menggunakan kekuatan dakwah dan
politik sebagai upaya untuk Amar Maruf Nahi Munkar. Pada periode madinah
Rasullulah telah melaksanakan dakwah dengan politik maupun dengan dakwah murni.
Hal serupa juga dilakukan oleh M. Natsir, sebagai perdana menteri RI dan ketua
umum Partai Masyumi, telah mengunakan kekuatan politik untuk berdakwah Amar Maruf Nahi Munkar. Di sini hubungan kekuasaan dengan
dakwah akan sangat membantu mempercepat tercapainya tujuan dakwah, hal seperti
inilah yang dirasakan oleh umat islam, baik pada zaman Rasullulah sahabat
maupun pada masa kejayaan islam di Indonesia hal ini membuktikan bahwa
berdakwah tanpa kekuatan dan kemauan politik (kekuasaan) akan terasa sulit bagi
penyebaran dakwah islam, karena dakwah islam seperti ini sudah pasti berhadapan
dengan kekuatan politik di luar Islam sebagai penentangnya seperti pernah dialami
oleh Nabi Muhammad ketika berdakwah di Mekah dalam lingkungan kaum Qurais.
Demikian juga yang di alami Dai di Indonesia pada waktu itu yang berada dalam
tekanan kaum penjajah.
Menurut
Harun Nasution hubungan kekuasaan dan dakwah cukup jelas. Pada periode mekah, Muhammad
SAW sulit mengembangkan dakwah, karena di mekah terdapat kekuasan dari kaum
Quraisy yang kuat yang menentangnya.[8] Di
madinah kekuasaan seperti itu tidak ada, bahkan kemudian tampak kekuasaan di
madinah di pegang oleh nabi muhammad saw. Dengan kekuasaannya yang ada di
tangannya ia lebih mudah menyebarluaskan ajaran agama islam.
Hasan
Al Banna adalah salah satu tokoh islam yang tak terlepas dari politik dan
dakwah yaitu dalam organisasi bentukanya yang bernama ikhwanul muslimin. Adalah
dakwah politik, dan salah satu aspek dalam pemerintahan yang di soroti adalah
perbaikan undang undang yang sesuai dengan syariat islam dalam setiap cabangnya.
Karena
politik adalah alat dakwah, maka aturan permainan yang mesti di taati juga
harus pararel dengan aturan permainan dakwah. Misalnya tidak boleh menyesatkan,
tidak boleh menjungkir balikan kebenaran dan mengelabuhi masyaarakat. Selain
itu keterbukaan, kejujuran, rasa tanggung jawab, serta keberanian menyatakan
yang benar sebagai benar dan yang bathil sebagai bathil harus menjadi ciri
politik yang berfungsi sebagai dakwah. Politik yang memiliki ciri-ciri seperti
itu niscaya fungsional terhadap tujuan dakwah. Sebaliknya,bila aturan permainan
yang digunakan dalam politik tidak sejalan dengan aturan permainan dalam dakwah
secara umumnya maka mudah diperkirakan bahwa politik semacam itu akan
disfungsional terhadap dakwah.
Politik
yang dijalankan oleh seorang muslim, sekaligus yang berfungsi sebagai alat
dakwah, sudah tentu bukan politik sekular, melainkan politik yang memang
berkomitmen kepada Allah SAW.
Politik
yang dilakukan semacam ini bukan bertujuan untuk kekuasaan atau suatu kepentingan
semata. Semua itu hanya menjadi sarana dan parasarana untuk mencapai tujuan
sesungguhnya yaitu pengabdian kepada Allah.
2.6. Peran Politik Dalam Dakwah
Allah SWT telah menetapkan risalah
penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada-Nya, kemudian menjadikannya khalifah
dalam rangka membangun kemakmuran di muka bumi bagi para penghuninya yang
terdiri dari manusia dan alam semesta.
Agar risalah ini menjadi abadi dalam sejarah peradaban manusia, Allah SWT merekayasa agar dalam kehidupan terjadi hubungan interaksi positif dan negatif di antara semua makhluk-Nya secara umum, dan di antara manusia secara khusus. Yang dimaksud dengan interaksi positif ialah, adanya hubungan tolong menolong sesama makhluk. Sedangkan interaksi negatif ialah, adanya hubungan perang dan permusuhan sesama makhluk. Allah SWT berfirman:
Agar risalah ini menjadi abadi dalam sejarah peradaban manusia, Allah SWT merekayasa agar dalam kehidupan terjadi hubungan interaksi positif dan negatif di antara semua makhluk-Nya secara umum, dan di antara manusia secara khusus. Yang dimaksud dengan interaksi positif ialah, adanya hubungan tolong menolong sesama makhluk. Sedangkan interaksi negatif ialah, adanya hubungan perang dan permusuhan sesama makhluk. Allah SWT berfirman:
“…Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia
(yang Dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.” Qs. Al Baqarah: 251.
Keabadian
risalah tersebut sangat tergantung pada hasil dari setiap interaksi baik yang
positif maupun negatif. Jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang
saleh, yang pada gilirannya mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan,
dan jika berada dalam peperangan, dimenangkan pula oleh orang-orang saleh itu,
maka pasti yang akan terjadi adalah keabadian risalah.
Tapi jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang buruk yang bersepakat melaksanakan kejahatan dan permusuhan, dan selanjutnya mereka pula yang memenangkan peperangan, maka pasti yang akan terjadi adalah kehancuran.
Tapi jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang buruk yang bersepakat melaksanakan kejahatan dan permusuhan, dan selanjutnya mereka pula yang memenangkan peperangan, maka pasti yang akan terjadi adalah kehancuran.
Disinilah letak politik berperan dalam dakwah.
Dakwah mengajak pada kebaikan, melaksanakan risalah penciptaan manusia, menyeru
kepada yang makruf dan mencegah semua bentuk kemungkaran, sementara politik
berperan memberikan motivasi, perlindungan, pengamanan, fasilitas, dan
pengayoman untuk terealisasinya risalah tersebut.
2.7.
Karakteristik
Politisi Dalam Dakwah
Setiap muslim berkewajiban menjadi da’i, paling tidak, untuk
dirinya dan keluarganya, sebagaimana Rasulullah SAW berwasiat:
“Sampaikanlah tentang ajaranku walaupun satu ayat.”
Dan sekaligus secara perlahan menjadi politisi dakwah, sebagaimana
telah kami ungkapkan sebelumnya. Adapun sifat dan karakter yang dimiliki para
politisi dakwah adalah sebagai berikut:
A.
Memiliki Keperibadian
Politik
Kepribadian politik adalah sekumpulan orientasi politik yang
terbentuk pada diri seseorang dalam menyikapi dunia politik. Ia memiliki tiga
aspek.
Pertama, Doktrin-Doktrin
yang Mengandung Makna Politis, Baik Secara Langsung Maupun Tak Langsung.
Doktrin-doktrin yang tak langsung meliputi:
a.
Doktrin khusus
yang berkaitan dgn ketuhanan, manusia, alam semesta, pengetahuan dan
nilai-nilai, yaitu:
v Keyakianan bahwa Allah swt adalah musyarri’ (Pembuat hukum).
v Keyakinan bahwa al wala’ (loyalitas) dan al bara’ (anti loyalitas)
adalah konsekuensi aqidah, loyal hanya kepada Allah, Rasul dan orang-orang
beriman. Dan kepada selainnya tidak akan pernah loyal.
v Keyakinan bahwa semua manusia sama dalam hal penciptaan, hak dan
kewajibannya.
v Keyakinan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi, dengan tujuan
memakmurkan bumi sesuai dengan syariat Allah, dan bahwa alam ini ditundukkan
untuknya.
v Keyakinan bahwa sumber nilai-nilai adalah wahyu.
b.
Doktrin khusus
tentang masyarakat, perubahan sosial, dan perempuan. yaitu:
Ø Keyakinan bahwa karakteristik dan prinsip masyarakat muslim adalah
akhlak.
Ø Keyakinan bahwa perubahan sosial adalah atas dasar kemauan dan
gerak manusia itu sendiri, berangkat dari pembinaan individu, kemudian
keluarga, masyarakat dan negara.
Ø Keyakianan bahwa perempuan memiliki hak-hak politik sama dengan
hak-hak politik laki-laki.
Sedang
doktrin-doktrin yang mengandung makna politis secara langsung adalah:
a)
Doktrin khusus
tentang keadilan dan kedamaian sosial.
b)
Doktrin tentang
strategi moneter, kemerdekaan dan kebangkitan ekonomi.
c)
Doktrin khusus
tentang hukum dan kekuasaan, bahwa hukum Islam sebagai sumber kekuasaan; umat
sebagai lembaga pengawas dan yang mengangkat dan menurunkan pemerintah; syura
adalah keniscayaan; keadilan ditegakkan; kebebasan dan persamaan derajat adalah
hak dan kebutuhan setiap orang.
d)
Doktrin khusus
tentang kepahlawanan dan kewarganegaraan.
e)
Doktrin khusus
tentang kemerdekaan kultural; kewajiban membebaskan diri dari penjajahan; dan
kewajiban berjihad di jalan Allah.
Kedua, Pengetahuan
Dan Wawasan Politik, masalah ini
akan dibahas pada point memiliki kesadaran politik.
Ketiga, Orientasi Dan
Perasaan Politik. Para politisi
dakwah yang telah meyakini doktrin-doktrin di atas, disertai dengan pengetahuan
dan wawasan yang luas tentang politik, maka pasti ia memiliki orientasi dan
perasaan politik. Diantaranya:
v Loyal kepada pemerintah yang menegakkan syariat Islam.
v Rasa ukhuwah insaniyah dan islamiyah, serta rasa persamaan derajat
dengan orang lain.
v Hasrat melakukan perubahan sosial dengan ishlah dan tarbiyah.
v Menghindari kekerasan.
v Menghargai pendapat orang-orang berpengalaman.
v Sikap positif terhadap aktivitas positif
v Benci kesewenang-wenangan.
v Cinta kemerdekaan.
v Rasa kewarganegaraan dan kepahlawanan.
v Rasa benci dan tunduk kepada bangsa lain.
v Mendukung gerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia.
v Bermusuhan dengan penjajah dan seterusnya.
Kesemua
orientasi dan perasaan politik tersebut sangat penting, dan seharusnya politisi
dakwah membangunnya pada dirinya dan pada umat Islam serta pada masyarakat umum.
B.
Memiliki Kesadaran Politik
Kesadaran politik yang mesti dimiliki oleh seorang politisi dakwah
adalah:
Pertama, Kesadaran Misi, yaitu kesadaran terhadap ajaran Islam itu sendiri, atau kesadaran akan doktrin-doktrin yang telah disebutkan di depan. Ia meliputi pada penyadaran akan dasar-dasar aqidah, akhlak, sosial, ekonomi dan politik Islam. Meliputi pada penyadaran akan pentingnya aplikasi Islam, sebagai asas identitas umat. Selanjuntnya meliputi pula pada penyadaran terhadap karakteristik konseptualnya. Misalnya ia adalah konsep universal untuk seluruh zaman dan tempat.
Pertama, Kesadaran Misi, yaitu kesadaran terhadap ajaran Islam itu sendiri, atau kesadaran akan doktrin-doktrin yang telah disebutkan di depan. Ia meliputi pada penyadaran akan dasar-dasar aqidah, akhlak, sosial, ekonomi dan politik Islam. Meliputi pada penyadaran akan pentingnya aplikasi Islam, sebagai asas identitas umat. Selanjuntnya meliputi pula pada penyadaran terhadap karakteristik konseptualnya. Misalnya ia adalah konsep universal untuk seluruh zaman dan tempat.
Kedua, Kesadaran Gerakan, yaitu kesadaran terhadap ajaran islam tak akan terwujud di tengah masyarakat dan negara kecuali ada organisasi pergerakan yang berkomitmen dengan asas Islam, dan bekerja untuk mewujudkannya.
Ketiga,
Kesadaran Akan Problematika Politik Yang Terjadi Di Masyarakat, yang meliputi
probelematika politik nasional, regional dan internasional. Contoh untuk
problematika nasional adalah penegakan hukum Islam dengan usulan agar UUD 1945
pasal 29 diamandemen, dan memasukkan ke dalamnya tujuh kata piagam Jakarta.
Keempat, Kesadaran Akan Hakikat Dan Sikap Politik, yaitu kemampuan politisi dakwah memahami peristiwa poltik dan sadar akan sikap kekuatan-kekuatan politik dalam menghadapi berbagai peristiwa politik itu sendiri. Kesadaran semacam ini tak mungkin ada tanpa kemampuan mutabaah terhadap berbagai peristiwa dan berbagai kekuatan politik baik melalui media massa maupun kajian-kajian.
Keempat
kesadaran poltik tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesadaran misi adalah
kesadaran permanen. Kesadaran gerakan adalah kesadaran permanen dan fleksibel. Kesadaran
problematika politik adalah kesadaran fleksibel berdasarkan pandangan yang
permanen. Kesadaran sikap politik adalah kesadaran fleksibel sesuai jenis
peristiwa.
C.
Berpatisipasi Dalam
Kegiatan-Kegiatan Politik
Partisipasi politik seseorang sangat bergantung orientasi
politiknya yang telah terbentuk oleh doktrin-doktrin politik yang telah
diyakininya. Maka seorang politisi dakwah yang telah meyakini bahwa menegakkan
pemerintahan Islam dalah kewajiban, pasti akan berparisipasi pada setiap
kegiatan politik yang kan menuju ke sana. Dalam rangka menggapai keyakinan
tersebut, seorang politisi dakwah dapat berpartisipasi:
Pertama, dalam bentuk
individu dengan menjadi anggota organisasi politik.
Kedua, dalam bentuk memberikan solusi atas realita dan problematika masyarakat.
Kedua, dalam bentuk memberikan solusi atas realita dan problematika masyarakat.
Contoh
untuk bentuk yang pertama adalah, lahirnya partai-partai politik yang
sebelumnya hanya berbentuk gerakan-gerakan dakwah yang terorganisir rapi dan
sistematis, yang kemudian setiap anggota gerakan menjadi anggota partai politik
secara otomatis. Dan mensukseskan setiap kegiatan partai tersebut pada setiap
jenjang struktur yang menjadi hak dan wewenangnya. Sedang contoh untuk bentuk
yang kedua adalah, keikutsertaan seorang politisi dakwah dalam aksi-aksi
politik, seperti demonsntrasi menentang kebijakan nasional atau internasional
yang merugikan agama Islam, atau keikutsertaan seorang politisi dakwah dalam
pelayanan sosial, misalnya dengan membantu warga yang sedang mendapatkan
musibah atau bencana alam, atau dengan melakukan upaya menghilangkan buta huruf
di masyarakat, atau dengan mengadakan aksi mengangkat masyarakat dari bawah
garis kemiskinan dan lain-lainnya.
2.8.
Langkah-Langkah
Menuju Politisi Dakwah
Semoga dengan
uraian di depan dapat menghilangkan keterbelahan pemahaman bahwa dakwah dan
politik adalah sesuatu yang kontra, dan tak dapat disatukan dalam satu
aktifitas. Sehingga seseorang tertanam
akan jiwa untuk menanam saham kebaikan dalam rangka membangun peradaban dunia,
yang sesuai kehendak Allah, melaui aktifitas dakwah dan politik. Akan tetapi
dari mana seseorang atau individu itu harus memulai?
Pertama, Membangun Kembali Pemahaman Kegamaan Individu. Bahwa agama Islam itu agama yang syamil, mencakup seluruh aspek kehidupan. Bahwa agama Islam itu asasnya aqidah, batangnya amal ibadah dan buahnya adalah akhlak. Bahwa agama Islam itu diamalkan di dunia dan pahalanya diperoleh di akhirat. Bahwa agama Islam itu diturunkan Allah untuk semua manusia, dan sterusnya. Pemahaman ini harus dibangun melalui peroses belajar mengajar.
Islam
mengajarkan bahwa belajar dilakukan dengan dua hal:
a.
Dengan membaca
fenomena-fenomena alam dan literatur-literatur
b.
Dengan belajar
melalui guru.
Kedua metode tersebut harus dilakukan oleh stiap muslim, tidak boleh hanya salah satunya.Sebab dengan membaca saja seseorang dapat tersesat, atau dengan
melalui guru saja, seseorang memiliki wawasan yang sempit. Karena dengan
demikian, seseorang sebagai politisi dakwah dapat mengamalkan Islam penuh
tanggung jawab, tak berdasarkan hawa nafsu.
Ketiga, Membangun Kembali Kebersamaan Tiap Individu. Bahwa individu itu
bersaudara, tidak dipisahkan oleh batasan darah, suku dan bangsa, apalagi hanya
dibatasi oleh perbedaan organisasi keagamaan atau perbedaan madzhab. Bahwa individu
itu perlu kerjasama dan berjamaah, karena memang setiap amalan dalam agama
Islam sangat dianjurkan dilakukan dalam berjamaah. Bahwa individu tak dapat
merealisasikan sebagian besar ajaran agama Islam kecuali dengan bersama-sama.
Kebersamaan dapat dibangun dengan kemampuan seseorang melepaskan
egoisme individu masing-masing perorangan, sehingga kita dapat menerima dan
memberi nasehat orang lain, serta mampu bersabar atas kekurangan dan perbedaan dalam
kebersamaan. Sehingga kebersamaan ini membuat politisi dakwah menjadi kuat dan
dapat segera mencapai cita-citanya.
Keempat, Mengenal Kembali Potensi Dan Kelebihan Diri Seseorang. Bahwa
masing-masing perorangan memiliki kelebihan yang berbeda dengan orang
lain. Bahwa kelebihan seseorang dapat
menjadi keunggulan yang menutupi kekurangan orang lain. Bahwa keunggulan seseorang
dapat menghapus kelemahan seseorang. Yang penting, dengan keunggulan itu dapat orang
jadikan sebagai sarana yang memanjangkan umur pahala seseorang. Sehingga seseorang
menumbuhkannya secara terus dan menjadi politisi dakwah melalui keunggulan
tersebut.
Kelima, Memahami Kembali Realitas Kehidupan Individu. Bahwa seseorang
hidup pada hari ini, bukan hari kemarin yang sangat mungkin kulturnya jauh
berbeda dgn hari ini. Bahwa kehidupan itu penuh dengan dinamika, sehingga seorang
politisi dakwah dituntut memiliki kemampuan mengaktualisasikan ajaran Islam, dalam
bentuk sarana, metode, dan cara sesuai zaman, tanpa harus keluar dari frame
dasar agama ini.
2.9. Hubungan
Tak Terpisahkan Antara Dakwah Dan Politik
Persinggungan bahkan pergesekan
antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan
politik diimpitkan atau dicoba untuk disatukan. Misalnya partai politik yang
merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik seperti semacam ini bukan saja
melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi
juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas islam yang sejak awal memilih
jalur dakwah, bukan politik praktis.
Di sini politik dan dakwah tampak
merupakan dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip, nilai, maupun metode. Karena
itu hubungannya akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung
pada menempatkannya dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau
politik dalam dakwah.
Jika dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrument dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai yang bersangkutan.
Jika dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrument dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai yang bersangkutan.
Dakwah
merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan untuk
disalahgunakan. Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki
kepentingan politik untuk berkuasa. Karena itu, dakwah dari parpol bertujuan
untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau
merpertahankannya.
Tidak jarang gesekan dengan ormas islam terjadi karena dakwah parpol menjadi ekspansi ke dalam organisasi dan kehidupan jamaah ormas islam, seperti melalui pengajian dan pengurusan masjid.
Tidak jarang gesekan dengan ormas islam terjadi karena dakwah parpol menjadi ekspansi ke dalam organisasi dan kehidupan jamaah ormas islam, seperti melalui pengajian dan pengurusan masjid.
Begitu
juga ketika terjadi bencana alam, bantuan dan sumbangan yang dikelola oleh
parpol berjubah dakwah itu biasa diberikan dengan dengan syarat punya kartu atau
menjadi anggota partai. Kerap bantuan dari pihak lain diklaim atau diberi
stempel partai islam bersangkutan. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh alm.
Muhammad Natsir, dakwah dan akhlaqul karimah adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan antara satu sama lain. Politik bukan sekedar pertarungan mencari
atau meraih kekuasaan atau mengutip C. Calhoun ,”the ways in which people gain,
use, and lose power”. Politik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang
berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif
yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatan Negara dan bangsa.
Kebijakan
dan sikap berpolitik yang berbeda ragamnya dengan parpol dakwah merupakan suatu
ikhtiar dalam mengapresiasi dakwah dan politik secara proporsional. dengan
penempatan yang layak ini, hubungan antara dakwah dan politik bisa dipahami
dalam dua hal, yakni:
I.
Mengembalikan makna dakwah pada
substansi nilai dan prinsipnya sebagaimana digariskan oleh Allah (QS Al
Imron:104 dan 110; An-Nahl: 125; Fushilat:33)
II.
Dakwah harus dilakukan dalam seluruh
aspek kehidupan manusia. Misalnya, setiap politisi muslim yang bergelut dalam
dunia politik berkewajiban melaksanakan dakwah, tetapi bukan dakwah untuk
kepentingan politik.
Dalam
hal ini menjadi contoh dan teladan di dunia politik sehingga nilai-nilai
kejujuran, keberpihakan kepada rakyat, kesederhanaan, keluhuran dan kemuliaan
bisa mewarnai perilaku politisi dan penyelenggara pemerintahan dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Politik dakwah yang tepat dan pantas
adalah bukan politisasi dakwah, karena makna dakwah sudah sangat jelas
terkandung dalam Al Quran.
2.10.
Hakikat dari Hubungan
antara Dakwah dengan Politik
Dakwah Islam yang telah berlangsung
sekian lama ini pada intinya adalah sebuah proses dan upaya tabligh dalam arti
menyampaikan kebenaran ajaran agama untuk membangun tatanan kehidupan yang
penuh kedamaian dan jauh dari dendam masa lalu serta berusaha menatap ke depan
yang lebih baik. Dalam bahasa fikih dakwah, membawa manusia dari jahiliyah
menuju ilmiah, dari keadaan terpuruk menjadi penuh kemaslahatan, dan keadaan
yang tidak mengindahkan aturan menuju keadaan yang memahami serta menaati
peraturan dan begitu seterusnya.
Dalam hal ini jelas kebenaran ajaran Islam bahwa berpolitik bagian dari dakwah dan dakwah merupakan tujuan dari berpolitik. Karena Islam tidak hanya hadir di wilayah kematian, formalitas pertemuan dan wilayah kaku lainnya. Itu semua tidak membutuhkan ijtihad berat untuk mengusungnya. Semua sepakat dan siap melakukan ajaran Islam pada tataran simbolis demikian.
Dalam hal ini jelas kebenaran ajaran Islam bahwa berpolitik bagian dari dakwah dan dakwah merupakan tujuan dari berpolitik. Karena Islam tidak hanya hadir di wilayah kematian, formalitas pertemuan dan wilayah kaku lainnya. Itu semua tidak membutuhkan ijtihad berat untuk mengusungnya. Semua sepakat dan siap melakukan ajaran Islam pada tataran simbolis demikian.
Tetapi,
ketika yang diusung adalah ide kesatuan Islam yang terdiri dari persoalan
akidah, ibadah, akhlak dan muamalah, baik dalam skala individu, keluarga, dan
bermasyarakat serta bernegara tentu wajar jika mengundang polemik dan
pertanyaan yang berterusan. Semestinya setiap kita berusaha mengangkat sisi
keislaman tersebut dari aspek yang digeluti sehari-hari sehingga kesempurnaan
dan komprehensivitas Islam tampak jelas di semua sehi kehidupan.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan sub-sub pembahasan yang
telah dibahas di atas, dapat ditarik kesimpulan akan hubungan antara dakwah
dengan politik, bahwa:
Dakwah dan politik adalah dua hal
yang bisa saling memberikan simbiosis mutualisme, yang kemudian makna dari
keduanya melebur dalam istilah dakwah politik atau politik dakwah. Karena
dengan menggunakan kekuatan politik maka tujuan dakwah akan lebih cepat
terealisasi seperti yang nabi peroleh ketika berdakwah di Madinah yang mana
berbeda manakala nabi berdakwah di mekah.
Dakwah, membawa manusia dari
jahiliyah menuju ilmiah, dari keadaan terpuruk menjadi penuh kemaslahatan, dan
keadaan yang tidak mengindahkan aturan menuju keadaan yang memahami serta
menaati peraturan dan begitu seterusnya.
Realitas menunjukkan bahwa dakwah
Nabi Muhammad SAW. juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Siapapun yang
menelaah sirah Nabi Muhammad SAW. baik yang ada dalam as-Sunnah maupun al-Quran
akan menyimpulkan, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Beliau dan para Sahabat,
selain bersifat ritual, spiritual dan moral, juga merupakan dakwah yang
bersifat politik. Artinya dakwah sangat erat hubunganya dengan politik yang
mana itu terbukti sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Dan dengan politik itu sendiri di
masukan dalam dakwah maka dengan sendirinya islam telah memberikan bagaimana
cara berpolitik yang benar yang tidak mengganggu kepentingan orang lain, tidak
memfitnah dan tidak pula menjatuhkan lawan, yang mana makna politik dalam
pandangan islam sangat bertentangan dengan makna politik dari barat yang
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
3.2. SARAN
Beradasarkan
kesimppulan tersebut, maka harapan penulis agar kiranya pembaca dan khususnya
penulis sendiri, mampu dalam menjalankan kehidupan duniawi untuk bekal dalam
akhirat khususnya dalam bidang kehidupan berdakwah dan berpolitik.
Dalam penulisan makalah yang berjudul Hubungan
Dakwah dengan Politik ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis harapakan dari pembaca bilamana terdapat
kesalahan dalam penulisan makalah ini agar kiranya memberikan komentar atau
kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan dalam penulisan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan,
Ideologisasi Gerakan Dakwah Episod Kehidupan M Natsir Dan Azhar Basyir,
Yogyakarta:Sipress. 1996
Nasution, Harun,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,Cet. V,Jilid I, Jakarta:UI Pers.1985
Hasan Al Banna,Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo:Intermedia.2005
Luth, Thohir, M Natsir Dakwah Dan Pemikirannya,Jakarta: Gema Insani.1999
Nasution, Harun,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,Cet. V,Jilid I, Jakarta:UI Pers.1985
Hasan Al Banna,Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo:Intermedia.2005
Luth, Thohir, M Natsir Dakwah Dan Pemikirannya,Jakarta: Gema Insani.1999
Amin,
Samsul Munir, M.A, Ilmu Dakwah,
Jakarta: Amzah. 2009
M. Natsir, “Fungsi Dakwah Perjuangan” dalam Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: Sipres. 1996
sumber lainya:
http://muafakatmalaysia.com/2012/10/23/nakhaie-ahmad-peranan-dakwah-dalam-mendepani-kemelut-politik-semasa-malaysia/;diunduh Jum’at pukul 1.35 WIB
http://dakwah-online.web.id/menjadi-politisi-dakwah-hasan-al-banna-271.htm;diunduh
jum’at pukul 10.46 WIB
http://prince-ghany.blogspot.com/2012/11/makalah-sistem-politik-islam.html;Diposkan
oleh ghany prince ,diunduh
jum’at pukul 10.48 WIB
[1]
M.
Natsir, “Fungsi Dakwah Perjuangan” dalam
Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: Sipres,
1996, cetakan 1, hlm. 52.
[2]
http://muafakatmalaysia.com/2012/10/23/nakhaie-ahmad-peranan-dakwah-dalam-mendepani-kemelut-politik-semasa-malaysia/,diunduh Jum’at pukul 1.35 WIB
[3]
http://prince-ghany.blogspot.com/2012/11/makalah-sistem-politik-islam.html,
diunduh jum’at pukul 10.48 WIB
[4]
Drs.
Samsul Munir Amin, M.A, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 185
[5]
Drs.
Samsul Munir Amin, M.A, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 186-187
[6]
Ibid.hlm.
187
[7]
Luth,
Thohir, M Natsir Dakwah Dan Pemikirannya,(Jakarta:Gema Insani.1999).Hlm 85
[8]
Luth,
Thohir, M Natsir Dakwah Dan Pemikirannya,(Jakarta:Gema Insani.1999).Hlm.89
0 komentar:
Posting Komentar