Sabtu, 28 Oktober 2017

// // Leave a Comment

MAKALAH HUBUNGAN DAKWAH DENGAN POLITIK


Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya yang setia.
Alhamdulillah berkat rahmat dan anugerah-Nya makalah berjudul Hubungan Dakwah dengan Politik, sebagai tugas mata kuliah Dakwah Pembangunan, ini bisa diselesaikan.
Dengan kerendahan hati disadari bahwa dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mengalami kesulitan serta hambatan. Namun berkat bimbingan serta motifasi dari berbagai pihak akhirnya penulisan makalah ini bisa diselesaikan. Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih kepada Dosen pembimbing serta pihak-pihak yang bersangkutan. Semoga bantuan dan amal baik yang telah di berikan pada penulis, mendapatkan imbalan yang setimpal dari Allah SWT Amin.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka penulis senantiasa terbuka untuk menerima masukan dan kritik yang membangun demi penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhirnya, penulis berharap mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pambaca dan penulis khususnya.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb



DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1.Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3.Tujuan penulisan......................................................................................... 2
1.4.Manfaat penulisan...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................... 3
2.1.            Pengertian Dakwah dan Politik............................................................ 3
2.2.            Politik dalam Islam............................................................................... 5
2.3.            Kedudukan Politik dalam Islam........................................................... 7
2.4.            Praktik Politik dalam Gerakan Dakwah Nabi Muhammad SAW........ 10
2.5.            Dakwah Politik dan Politik Dakwah.................................................... 12
2.6.            Peran Politik dalam Dakwah................................................................ 15
2.7.            Karakteristik Politisi dalam Dakwah.................................................... 16
2.8.            Langkah Menuju Politisi Dakwah........................................................ 20
2.9.            Hubungannya antara Dakwah Dengan Politik..................................... 22
2.10.        Hakikat dari Hubungan antara Dakwah Dengan Politik...................... 23
BAB III PENUTUP....................................................................................... 25
3.1.  Kesimpulan................................................................................................ 25
3.2.  Saran.......................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA         

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.  Latar Belakang
Apakah politisi dapat menjadi da’i?  Atau apakah dai dapat menjadi politisi? Dan apakah mungkin kegiatan dakwah menjadi kegiatan politik? Atau sebaliknya kegiatan politik menjadi kegiatan dakwah? Menjawab beberapa pertanyaan di atas tidaklah mudah, apabila kita melihat persepsi masyarakat tentang dakwah dan politik. Dakwah dan politik adalah dua kata yang kontra bagi mereka. Hal itu karena politik dipahami sebagai aktifitas dunia, sedang dakwah dipahami sebagai aktifitas akhirat. Yang pada gilirannya dipahami bahwa dakwah tak pantas memasuki wilayah politik, dan politik haram memasuki wilayah dakwah. Dakwah adalah pekerjaan para ustadz, dan politik pakerjaan para politisi

Berbicara masalah pilitik dakwah dan dakwah politik sebenarnya berasal dari kerancuan dalam berfikir tentang apakah dakwah dan politik itu bertentangan atau malah kedua hal itu tidak dapat dipisahkan. Banyak orang berfikir mengenai kedua hal ini, tentang pengertian yang sama tentang dua hal tersebut. Padahal jika dikaji lebih mendalam kedua hal ini mempunyai hubungan yang sangat erat antara dakwah dengan politik yang menjadi topik dalam makalah ini yang akan membahas Hubungan Dakwah dengan Politik. Dalam makalah ini penulis akan berusaha mengupas degan seksama masalah dakwah politik atau politik dakwah.
  
1.2.   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas timbul beberapa rumusan masalah,yakni;
1.2.1.                       Apa pengertian dakwah dan politik?
1.2.2.                       Apa pengetian politik dalam islam?
1.2.3.                       Seperti apakah kedudukan politik dalam islam?
1.2.4.                       Adakah praktik politik dalam gerakan dakwah nabi muhammad saw?
1.2.5.                       Lantas apa itu dakwah politik dan politik dakwah?
1.2.6.                       Apa peran politik dalam dakwah?
1.2.7.                       Apa saja karakteristik politisi dalam dakwah?
1.2.8.                       Bagaimana langkah menuju politisi dakwah?
1.2.9.                       Apa hubungannya antara dakwah dengan politik?
1.2.10.                   Apa hakikat dari hubungan antara dakwah dengan politik itu sendiri?

1.3.   Tujuan Makalah
Dalam penyusunan makalah ini bukan semata-mata sekedar tulisan saja melainkan meiliki tujuan. Adapun tujuan penulisan tersebut adalah:
1.3.1.                       Untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah Dakwah Pembangunan.
1.3.2.                       Untuk menambah wawasan pembaca dan penulis khususnya.
1.3.3.                       Untuk mempermudah dalam mempelajari dakwah yang berkaitan dengan politik secara ringkas, padat dan jelas.

1.4.   Manfaat Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini pula bukan semata-mata sekedar tulisan saja melainkan meiliki manfaat. Adapun manfaatnya, yakni:
1.4.1.                       Memberikan wawasan para pembaca dan khususnya penulis tentang dakwah yang berkaitan dengan politik.
1.4.2.                       Membuka pandangan baru dalam berdakwah dan berpolitik yang sejalan.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  Pengertian Dakwah dan Politik
Ditinjau dari etimologi atau bahasa, kata dakwah berasala dari bahasa Arab, yaitu da’a-yad’u-da’watan, artinya mengajak, menyeru, memanggil. Secara terminologi, devinisi dakwah telah banyak dibuat para ahli. Menurut M. Natsir, dakwah adalah usaha-uasha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat manusia konsepsi islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, dan yang meliputi al-amar bi al-ma’ruf an-nahyu al-munkar dengan berbagai macam cara dan media yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam perkehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara[1]
Dakwah sebagai mekanisma penghayataan dan penyebaran cara hidup Islam, bukan gerakan Islam politik sebagaimana yang dipraktikan dalam realiti kehidupan kaum Muslimin sekarang. Dakwah merupakan gerakan yang berdisiplin dan iltizam kepada prinsip, pendekatan dan amalan yang digariskan di dalam al-Qu’an dan al-Sunnah. Ia tidak terikat kepada mana-mana ideologi dan kefahaman yang di luar daripada ajaran Islam. Sebagaimana kata Abdul Karim Zaidan, Islam ialah tujuan dakwah dan hakikatnya dan inilah tonggak pertama bagi dakwah. Rasulullah s.’a.w menggerakkan dakwah kepada Islam dengan cara, uslub dan manhaj yang telah diwahyukan kepadanya oleh Allah SWT dan termaktub di dalam al-Qur’an.
Salah satu daripada fungsi utama dakwah ialah mengajak manusia supaya mengamalkan makruf dan mencegah munkar. Ia bukan sahaja menjadi tugas sesuatu golongan di dalam masyarakat Islam, tetapi menjadi tugas ummah keseluruhannya. Tidak memadai bagi seorang Muslim itu hanya menjalani kehidu-pan yang soleh dan bertaqwa semata-mata untuk dirinya. Bahkan ia mestilah berkerja untuk memandu, memimpin dan membawa petunjuk kepada alam seluruhnya. Ia adalah pengabdi yang zuhud dan diwaktu yang sama pemimpin dan pembimbing.
 Kepentingn al-‘amru bi al-makruf dan al-nahyu ‘ani al-munkar dinyatakan oleh Imam al-Ghazali seperti berikut; “Al-amru bi al-makruf dan al-nahyu ‘ani al-munkar adalah paksi terbesar agama ini. Ia adalah tugasan yang untuknya Allah S.w.T mengutus para nabi sekaliannya. Jika digolong tikarnya, diabaikan ilmu dan amalannya, terbengkalailah tugas kenabian, merusutlah keagamaan, meluaslah kelemahan, berleluasalah kesesatan. Lalu binasalah kehidupan hamba. Mereka mungkin tidak merasai kemusnahan, melainkan pada hari perhitungan. Inilah yang paling kita takut ianya berlaku, dan sesungguhnya kita untuk Allah SWT dan kepada-Nya kita kembali.
Jika ini berlaku terhapuslah daripada paksi ini amalan dan ilmunya dan termusnah sama sekali bentuk dan hakikatnya. Lalu hati dikuasai akhlak yang tiada ketegasan, dan terhapus amalan meraqabah Pencipta. Maka mudahlah manusia mengikut hawa nafsu dan syahwat sebagaimana binatang. Betapa mulianya di muka bumi ini orang beriman yang sebenar-benar beriman yang tidak peduli celaan orang demi mendapat keridhoan Allah SWT dan Islam yang murni yang dipegang oleh orang-orang beriman dengan teguh dan dipatuhi dengan tekun itulah yang mencetuskan kekuatan yang diperlukan umat Islam masa kini.[2]
Politik berasal dari bahasa latin politicos atau politicus yang berarti relating to citizen (hubungan warga negara). Sedangkan dalam bahasa arab diterjemahkan dengan kata siyasah, kata ini diambil dari kata saasa-yasuusu yang diartikan mengemudi, mengendalikan dan mengatur. Sedangkan menurut Abdul Qadir Zallum, mengatakan bahwa politik atau siyasah memiliki makna mengatur urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Dalam politik terdapat negara yang berperan sebagai institusi yang mengatur secara praktis, Sedangkan rakyat mengoreksi pemerintahan dalam melakukan tugasnya. Maka dapat disimpulkan politik merupakan pemikiran yang mengurus kepentingan masyarakat. Pemikiran tersebut berupa pedoman, keyakinan hokum atau aktivitas dan informasi.[3]
Makna Politik Menurut Dunia Barat, Dalam sistem sekular, politik lebih didasarkan pada politik Machiavellis yang ditulis dalam buku The Prince. Machiavelli mengajarkan bahwa:
a.       kekerasan (violence), brutalitas, dan kekejaman merupakan cara yang diperlukan penguasa.
b.      penaklukan total atas musuh-musuh politik dinilai sebagai kebajikan puncak (summum bonum)
c.        dalam menjalankan kehidupan politik seseorang harus dapat bermain seperti binatang buas.
Karenanya, praktik politik sistem sekular merupakan homo homini lupus, manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain. Slogannya pun adalah, “Kiranya dapat diterima akal bila demi tuntutan profesionalnya, seorang serdadu harus membunuh dan seorang politikus harus menipu” (It is thought that by the necessities of his profession a soldier must kill and politici on lie) .

2.2.  Politik dalam Islam
Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyâsah, artinya: mengurusi urusan, melarang, memerintah (Kamus al-Muhîth, dalam kata kunci sâsa). Nabi saw. menggunakan istilah politik (siyâsah) dalam salah satu hadisnya:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاََ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»

Bani Israil itu diurusi urusannya oleh para nabi (tasûsu hum al-anbiyâ’). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak khalifah. (HR Muslim).

Jadi, politik artinya adalah mengurusi urusan umat. Berkecimpung dalam dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum Muslim dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir atas mereka. Politik Islam berarti mengurusi urusan masyarakat melalui kekuasaan, melarang dan memerintah, dengan landasan hukum atau syariah Islam.

Islam sebagai agama samawi yang komponen dasarnya aqidah dan syari’ah, punya korelasi erat dengan dalam arti yang luas. Sebagai sumber motivasi masyarakat, Islam berperan penting menumbuhkan sikap dan perilaku sosial politik. Implementasinya kemudian diatur dalam Syariat, sebagai catalog lengka dari perintah dan larangan Allah, pembimbing manusia dan pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia yang kompleks.[4]

Politik yang hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan dalam pemerintahyan, hanya akan mengaburkan maknanya secara luas dan menutup konstribusi islam terhadap politik secara umum. Sering dilupakan , bahwa islam dapat menjadi sumber inspirasi kultural dan politik. Pemahaman terhadap term politik secara luas, akan memperjelas korelasinya dengan Islam.

Politik Menurt Hasan Al Banna, yaitu: “Politik adalah hal memikirkan tentang persoalan-persoalan internal maupun eksternal umat.” Intermal politik adalah “mengurus persolalan pemerintahan, menjelaskan fungsi-fungsinya, merinci kewajiban dan hak-haknya, melakukan pengawasan terhadap para penguasa untuk kemudian dipatuhi jika mereka melakukan kebaikan, dan dikeritik jika mereka melakukan kekeliruan.” Sedang yang dimaksud dengan eksternal politik adalah “memelihara kemerdekaan dan kebebasan bangsa, mengantarkannya mencapai tujuan yang akan menempatkan kedudukannya di tengah-tengah bangsa lain, serta membebaskannya dari penindasan dan intervensi pihak lain dalam urusan-urusannya.”

2.3.  Kedudukan Politik dalam Islam
Islam agama sempurna, mencakup seluruh urusan kehidupan manusia yang terdiri dari kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara, serta segala aktifitas yang meliputnya, seperti ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lain sebagainya. Islam tak memilah antara kehidupan dunia dan akhirat. Dalam setiap aktifitas mengandung unsur dunia dan akhirat sekaligus. Shalat misalnya, dalam persepsi banyak orang menanyakan, shalat apakah amalan akhirat. Tapi jika ditelaah lebih dalam, dapat ditemukan bahwa shalat adalah amalan akhirat sekaligus amalan dunia. Ia menjadi demikian karena:
a.       Shalat dilaksanakan di dunia, pahalanya saja yang diperoleh di akhirat
b.      Shalat itu dzikir, dan setiap yang berdzikir pasti mendapatkan ketenangan, dan  ketenangan itu kebutuhan asasi manusia dalam beraktifitas. Rasulullah SAW jika sedang gundah, beliau berkata kepada Bilal: “Tenangkanlah kami dengan shalat hai Bilal!”
c.       Shalat sangat dianjurkan dilaksanakan dgn berjamaah, dan bagi yang melaksanakannya mendapatkan derajat 27 kali lipat dari pada yang shalat sendirian.
Shalat berjamaah membuat kita dengan sendirinya bersilaturahim, mendidik kita hidup bermasyarakat dan bernegara yang teratur dan rapi. Dalam shalat berjamaah harus ada imam dan makmum yang semua tindakannya harus sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, makmum harus taat pada imam, mengikuti semua gerakan dan perintah imam, apabila tidak maka shalat seorang makmum tersebut tidak sah. Dan apabila sang imam salah atau khilaf, maka wajib bagi makmum untuk menegurnya sampai imam kembali kepada yang benar. Demikian pula seharusnya yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Contoh yang lain, kegiatan jual beli, dalam persepsi banyak orang, ia adalah kegiatan dunia. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, maka ia pun sekaligus menjadi kegiatan akhirat. Hal itu, karena walaupun zhahirnya jual beli adalah amalan dunia, tapi karena di dalamnya ada aturan main yang harus dipatuhi oleh masing-masing penjual dan pembeli, dan jika mereka patuh pada atauran itu, maka keduanya mendapatkan pahala yang akan diperolehnya di akhirat, tapi jika salah satu atau keduanya menyalahi atuaran tersebut, maka yang berbuat salah mendapatkan dosa, yang hukumannya akan ia dapatkan pula di akhirat. Oleh karena itu Rasulullah SAW besabda;
“pedagang yang jujur mendapatkan naungan arasy pada hari kiamat.”
Dengan demikian, semua amalan, baik mahdhah maupun gairu mahdhah di dalam Islam, memiliki kedudukan yang sama, termasuk di dalamnya politik. Bahkan jika politik berarti kekuasaan, Utsman bin ‘Affan ra berkata: “Al Qur’an lebih memerlukan kekuasaan dari pada kekuasaan membutuhkan Al Qur’an.”
Menurut imam Asy-Syafi’I, politik harus sesuai dengan syariat islam, yaitu setiap upaya, sikap, dan kebijakan untuk mencapai tujuan umum prinsip syariat. Tujuan itu adalah:
a)      Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam.
b)      Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan umat.
c)      Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang primer, sekunder maupun suplementer.




d)     Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tanpa melampui batas maksimal dan mengurangi batas minimal.
e)      Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik maupun rohani.[5]

Islam memahami politik bukan hanya yang berurusan dengan pemerintahan saja atau sebatas pada poltik structural formal belaka, namun menyangkut juga kulturasi politik secara luas. Dalam hal ini politik bukan berarti perjuangan menduduki posisi eksekutif , legislative, maupun yudikatif. Lebih dari itu, dia meliputi serangkaian kegiatan yang menyangkut kemaslahatan umat dalam kehidupan jasmani maupun rohani, dalam hubungan kemasyarakatan secara umum dan hubungan masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Konstruksi politik semacam ini, harus didasarkan pada kaidah fiqh yang berbunyi, tasharruf al-iman manuthun bi al-mashlahah (kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemashlahatan rakyat atau masyarakat).[6] Ini berarti, bahwa kedudukan kelompok masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan tidak mungkin berdiri sendiri. Antara keduanya saling mendukung untuk terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang dikehendaki oleh Islam.
Karena politik bagian dari keuniversalan Islam, maka setiap muslim meyakini bahwa Islam memiliki sistem politik yang bersumber dari Allah, dicontohkan oleh Rasulullah dan dikembangkan oleh para sahabat dan salafussaleh, sesuai dengan dinamika perkembangan hidup manusia setiap masa. Berikutnya setiap muslim pun siap menjalankan sistem itu, dan tak akan menjalankan sistem yang lain, karena kahawatir akan tergelincir pada langkah-langkah syaitan. Itulah bagian dari pengertian firman Allah SWT;
“Hai orang-orang yang beriman! Masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh). Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu bagi kalian adalah musuh yang nyata.”(Al-Baqarah: 208).
2.4.  Praktik Politik dalam Gerakan Dakwah Nabi Muhammad SAW
Hubungan agama dengan politik terus menjadi perbincangan yang tak bosan dibahas. Ada yang menyatakan bahwa dakwah Rasulullah SAW. hanyalah merupakan gerakan keagamaan yang bersifat ritual, spiritual dan moral belaka. Namun, realitas menunjukkan bahwa dakwah Nabi Muhammad SAW. juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Siapapun yang menelaah sirah Nabi Muhammad SAW. baik yang ada dalam as-Sunnah maupun al-Quran akan menyimpulkan, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Beliau dan para Sahabat, selain bersifat ritual, spiritual dan moral, juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Di antara hal-hal yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Dakwah Nabi saw. menyerukan pengurusan masyarakat (ri‘âyah syu’ûn al-ummah). Ayat-ayat Makiyyah banyak mengajari akidah seperti takdir, hidayah dan dhalâlah (kesesatan), rezeki, tawakal kepada Allah, dan lain-lain. Ratusan ayat berbicara tentang Hari Kiamat (kebangkitan manusia dari kubur, pengumpulan manusia di padang mahsyar, pahala dan dosa, surga dan neraka, dan lain-lain). Tentang pengaturan terkait akhirat seperti nasihat dan bimbingan, membangkitkan rasa takut terhadap azhab Allah SWT, serta memberikan semangat untuk terus beramal demi menggapai ridha-Nya.
Selain itu, ratusan ayat al-Quran dan hadits di Makkah dan Madinah diturunkan kepada Nabi tentang pengaturan masyarakat di dunia. Misalnya jual-beli, sewa-menyewa, wasiat, waris, nikah dan talak, taat pada ulil amri, mengoreksi penguasa sebagai seutama-utama jihad, makanan dan minuman, pencurian, hibah dan hadiah kepada penguasa, pembunuhan, pidana, hijrah, jihad, dan lain-lain. Semua ini menegaskan bahwa apa yang didakwahkan Nabi SAW. bukan hanya persoalan ritual, spiritual dan moral. Dakwah Nabi SAW. berisi juga tentang hal-hal pengurusan masyarakat. Artinya, dilihat dari isinya dakwah Rasulullah SAW. juga bersifat politik.
Rasulullah melakukan pergulatan pemikiran. Pemikiran dan pemahaman batil masyarakat Arab kala itu dikritisi. Terjadilah pergulatan pemikiran. Akhirnya, pemikiran dan pemahaman Islam dapat menggantikan pemikiran dan pemahaman lama. Konsekuensinya, hukum-hukum yang diterapkan di masyarakat pun berubah.
Rasulullah SAW. dengan al-Quran menyerang kekufuran, syirik, kepercayaan terhadap berhala, ketidakpercayaan akan Hari Kebangkitan, anggapan Nabi Isa as. sebagai anak Tuhan, dan lain-lain. Hikmah, nasihat, dan debat secara baik terus dilakukan oleh Nabi saw. Al-Quran mengabadikan hal ini;
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan ppengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu, Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (QS an-Nahl [16]:125).
Jelas, ini merupakan aktivitas politik karena merupakan aktivitas ri‘âyah syu’ûn al-ummah, mengurusi urusan rakyat. Setelah berhijrah dari Makkah ke Madinah, Beliau mendirikan institusi politik berupa negara Madinah. Beliau langsung mengurusi urusan masyarakat. Misalnya dalam bidang pendidikan Beliau menetapkan tebusan tawanan Perang Badar dengan mengajari baca-tulis kepada sepuluh orang kaum Muslim pertawanan. Dalam masalah pekerjaan Nabi SAW. mengeluarkan kebijakan dengan memberi modal dan menyediakan lapangan pekerjaan berupa pencarian kayu bakar untuk dijual (HR Muslim dan Ahmad). Nabi SAW. pernah menetapkan kebijakan tentang lebar jalan selebar tujuh hasta (HR al-Bukhari). Beliau juga mengeluarkan kebijakan tentang pembagian saluran air bagi pertanian (HR al-Bukhari dan Muslim). Begitulah, Nabi SAW. sebagai kepala pemerintahan telah memberikan arahan dalam mengurusi masalah rakyat.
Secara langsung, Rasulullah SAW. menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penulis (kâtib) setiap perjanjian dan kesepakatan, Harits bin Auf sebagai pemegang stempel kepala negara (berupa cincin) Nabi SAW., Muaiqib bin Abi Fatimah sebagai pendata rampasan perang (ghanîmah), Hudzaifah bin Yaman sebagai kepala pusat statistik hasil buah-buahan di Yaman, dan lain-lain.
Berdasarkan perilaku dakwah Nabi SAW. dan para Sahabatnya di atas, jelaslah, dakwah Beliau tidak sekadar mencakup ritual, spiritual dan moral. Dakwah Beliau juga bersifat politik, yakni mengurusi urusan umat dengan syariah. Karenanya, dakwah Islam haruslah diarahkan seperti yang dilakukan Beliau. Politik tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari Islam. Tentu, sekali lagi, politik yang dimaksud bukanlah politik Machiavellis atau sekular .

2.5.  Dakwah Politik Dan Politik Dakwah
Antara dakwah dan politik terdapat daerah yang saling bersinggungan, di samping banyak perbedaan. Aktivitas dakwah sering berbau politik, demikian pula sebaliknya. Jika kurang jeli, sulit membedakannya. Politik oleh sebagian kalangan diartikan sebagai kemahiran untuk menghimpun kekuatan, meningkatkan kualitas dan kuantitasnya, mengawasi dan mengendalikan, dan menggunakannya untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan lembaga-lembaga lainnya. Dari pengertian di atas telah nampak jelas bahwa orientasi politik adalah kekuasaan.

Adapun dakwah adalah seruan kepada segenap manusia untuk mengikuti jalan Allah lewat amar ma'ruf nahi munkar. Operasionalnya bisa menggunakan berbagai media, termasuk kekuasaan. Orientasi dakwah sangat nyata, yaitu sampainya pesan-pesan agama kepada semua manusia. Kekuasaan bisa saja menjadi alatnya, tapi sekali-kali, kekuasaan bukan merupakan tujuan dakwah.
Istilah politik dan dakwah islam terasa leleh sebagian orang adalah itu dua hal yang sangat kontras. Dakwah adalah gerakan yang bernafaskan islam yang mengajak manusia untuk amar maruf nahi munkar, sedangkan politik dari sebagian orang berpendapat tentang kekuasaan.
Namun oleh sebagian orang memandang lain contoh M. Natsir. Beliau adalah tokoh dakwah di era Soekarno. Dalam dakwahnya beliau mengambil ideologi islam dengan istilah Modernitas Politik Islam yang mengandung arti sebagai sikap dan pandangan yang berusaha untuk menerapkan ajaran dan nilai nilai kerohanian sosial dan politik islam yang terkandung di dalam Al Quran dan sunnah Nabi dan menyesuaikannya dengan perkembangan perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat islam.[7] Dalam term politik seperti ini maka M. Natsir mewajibkan setiap umat islam untuk berpolitik sebagai media dakwah.
Sebagai konsekuen logis dari pernyataan ini, maka M. Natsir telah membuktikan dirinya berjuang sebagai pimpinan partai politik islam yaitu Masyumi. Dalam gerakan dakwahnya M. Natsir mempunyai kesesuain yang cukup dekat dengan gerakan dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dalam kapasitasnya sebagai kepala agama dan kepala negara. Pada periode Madinah, menggunakan kekuatan dakwah dan politik sebagai upaya untuk Amar Maruf Nahi Munkar. Pada periode madinah Rasullulah telah melaksanakan dakwah dengan politik maupun dengan dakwah murni. Hal serupa juga dilakukan oleh M. Natsir, sebagai perdana menteri RI dan ketua umum Partai Masyumi, telah mengunakan kekuatan politik untuk berdakwah Amar  Maruf  Nahi Munkar. Di sini hubungan kekuasaan dengan dakwah akan sangat membantu mempercepat tercapainya tujuan dakwah, hal seperti inilah yang dirasakan oleh umat islam, baik pada zaman Rasullulah sahabat maupun pada masa kejayaan islam di Indonesia hal ini membuktikan bahwa berdakwah tanpa kekuatan dan kemauan politik (kekuasaan) akan terasa sulit bagi penyebaran dakwah islam, karena dakwah islam seperti ini sudah pasti berhadapan dengan kekuatan politik di luar Islam sebagai penentangnya seperti pernah dialami oleh Nabi Muhammad ketika berdakwah di Mekah dalam lingkungan kaum Qurais. Demikian juga yang di alami Dai di Indonesia pada waktu itu yang berada dalam tekanan kaum penjajah.
Menurut Harun Nasution hubungan kekuasaan dan dakwah cukup jelas. Pada periode mekah, Muhammad SAW sulit mengembangkan dakwah, karena di mekah terdapat kekuasan dari kaum Quraisy yang kuat yang menentangnya.[8] Di madinah kekuasaan seperti itu tidak ada, bahkan kemudian tampak kekuasaan di madinah di pegang oleh nabi muhammad saw. Dengan kekuasaannya yang ada di tangannya ia lebih mudah menyebarluaskan ajaran agama islam.
Hasan Al Banna adalah salah satu tokoh islam yang tak terlepas dari politik dan dakwah yaitu dalam organisasi bentukanya yang bernama ikhwanul muslimin. Adalah dakwah politik, dan salah satu aspek dalam pemerintahan yang di soroti adalah perbaikan undang undang yang sesuai dengan syariat islam dalam setiap cabangnya.
Karena politik adalah alat dakwah, maka aturan permainan yang mesti di taati juga harus pararel dengan aturan permainan dakwah. Misalnya tidak boleh menyesatkan, tidak boleh menjungkir balikan kebenaran dan mengelabuhi masyaarakat. Selain itu keterbukaan, kejujuran, rasa tanggung jawab, serta keberanian menyatakan yang benar sebagai benar dan yang bathil sebagai bathil harus menjadi ciri politik yang berfungsi sebagai dakwah. Politik yang memiliki ciri-ciri seperti itu niscaya fungsional terhadap tujuan dakwah. Sebaliknya,bila aturan permainan yang digunakan dalam politik tidak sejalan dengan aturan permainan dalam dakwah secara umumnya maka mudah diperkirakan bahwa politik semacam itu akan disfungsional terhadap dakwah.
Politik yang dijalankan oleh seorang muslim, sekaligus yang berfungsi sebagai alat dakwah, sudah tentu bukan politik sekular, melainkan politik yang memang berkomitmen kepada Allah SAW.
Politik yang dilakukan semacam ini bukan bertujuan untuk kekuasaan atau suatu kepentingan semata. Semua itu hanya menjadi sarana dan parasarana untuk mencapai tujuan sesungguhnya yaitu pengabdian kepada Allah.

2.6.  Peran Politik Dalam Dakwah
Allah SWT telah menetapkan risalah penciptaan manusia, yaitu beribadah kepada-Nya, kemudian menjadikannya khalifah dalam rangka membangun kemakmuran di muka bumi bagi para penghuninya yang terdiri dari manusia dan alam semesta.
Agar risalah ini menjadi abadi dalam sejarah peradaban manusia, Allah SWT merekayasa agar dalam kehidupan terjadi hubungan interaksi positif dan negatif di antara semua makhluk-Nya secara umum, dan di antara manusia secara khusus. Yang dimaksud dengan interaksi positif ialah, adanya hubungan tolong menolong sesama makhluk. Sedangkan interaksi negatif ialah, adanya hubungan perang dan permusuhan sesama makhluk. Allah SWT berfirman:

“…Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang Dilimpahkan-Nya) atas seluruh alam.” Qs. Al Baqarah: 251.
Keabadian risalah tersebut sangat tergantung pada hasil dari setiap interaksi baik yang positif maupun negatif. Jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang saleh, yang pada gilirannya mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan, dan jika berada dalam peperangan, dimenangkan pula oleh orang-orang saleh itu, maka pasti yang akan terjadi adalah keabadian risalah.
Tapi jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang buruk yang bersepakat melaksanakan kejahatan dan permusuhan, dan selanjutnya mereka pula yang memenangkan peperangan, maka pasti yang akan terjadi adalah kehancuran.
 Disinilah letak politik berperan dalam dakwah. Dakwah mengajak pada kebaikan, melaksanakan risalah penciptaan manusia, menyeru kepada yang makruf dan mencegah semua bentuk kemungkaran, sementara politik berperan memberikan motivasi, perlindungan, pengamanan, fasilitas, dan pengayoman untuk terealisasinya risalah tersebut.
2.7.  Karakteristik Politisi Dalam Dakwah
Setiap muslim berkewajiban menjadi da’i, paling tidak, untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana Rasulullah SAW berwasiat:
“Sampaikanlah tentang ajaranku walaupun satu ayat.”
Dan sekaligus secara perlahan menjadi politisi dakwah, sebagaimana telah kami ungkapkan sebelumnya. Adapun sifat dan karakter yang dimiliki para politisi dakwah adalah sebagai berikut:
A.    Memiliki Keperibadian Politik
Kepribadian politik adalah sekumpulan orientasi politik yang terbentuk pada diri seseorang dalam menyikapi dunia politik. Ia memiliki tiga aspek.
Pertama, Doktrin-Doktrin yang Mengandung Makna Politis, Baik Secara Langsung Maupun Tak Langsung. Doktrin-doktrin yang tak langsung meliputi:
a.       Doktrin khusus yang berkaitan dgn ketuhanan, manusia, alam semesta, pengetahuan dan nilai-nilai, yaitu:
v  Keyakianan bahwa Allah swt adalah musyarri’ (Pembuat hukum).
v  Keyakinan bahwa al wala’ (loyalitas) dan al bara’ (anti loyalitas) adalah konsekuensi aqidah, loyal hanya kepada Allah, Rasul dan orang-orang beriman. Dan kepada selainnya tidak akan pernah loyal.
v  Keyakinan bahwa semua manusia sama dalam hal penciptaan, hak dan kewajibannya.
v  Keyakinan bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi, dengan tujuan memakmurkan bumi sesuai dengan syariat Allah, dan bahwa alam ini ditundukkan untuknya.
v  Keyakinan bahwa sumber nilai-nilai adalah wahyu.

b.      Doktrin khusus tentang masyarakat, perubahan sosial, dan perempuan. yaitu:
Ø  Keyakinan bahwa karakteristik dan prinsip masyarakat muslim adalah akhlak.
Ø  Keyakinan bahwa perubahan sosial adalah atas dasar kemauan dan gerak manusia itu sendiri, berangkat dari pembinaan individu, kemudian keluarga, masyarakat dan negara.
Ø  Keyakianan bahwa perempuan memiliki hak-hak politik sama dengan hak-hak politik laki-laki.
Sedang doktrin-doktrin yang mengandung makna politis secara langsung adalah:
a)      Doktrin khusus tentang keadilan dan kedamaian sosial.
b)      Doktrin tentang strategi moneter, kemerdekaan dan kebangkitan ekonomi.
c)      Doktrin khusus tentang hukum dan kekuasaan, bahwa hukum Islam sebagai sumber kekuasaan; umat sebagai lembaga pengawas dan yang mengangkat dan menurunkan pemerintah; syura adalah keniscayaan; keadilan ditegakkan; kebebasan dan persamaan derajat adalah hak dan kebutuhan setiap orang.
d)     Doktrin khusus tentang kepahlawanan dan kewarganegaraan.
e)      Doktrin khusus tentang kemerdekaan kultural; kewajiban membebaskan diri dari penjajahan; dan kewajiban berjihad di jalan Allah.

Kedua, Pengetahuan Dan Wawasan Politik, masalah ini akan dibahas pada point memiliki kesadaran politik.
Ketiga, Orientasi Dan Perasaan Politik. Para politisi dakwah yang telah meyakini doktrin-doktrin di atas, disertai dengan pengetahuan dan wawasan yang luas tentang politik, maka pasti ia memiliki orientasi dan perasaan politik. Diantaranya:
v  Loyal kepada pemerintah yang menegakkan syariat Islam.
v  Rasa ukhuwah insaniyah dan islamiyah, serta rasa persamaan derajat dengan orang lain.
v  Hasrat melakukan perubahan sosial dengan ishlah dan tarbiyah.
v  Menghindari kekerasan.
v  Menghargai pendapat orang-orang berpengalaman.
v  Sikap positif terhadap aktivitas positif
v  Benci kesewenang-wenangan.
v  Cinta kemerdekaan.
v  Rasa kewarganegaraan dan kepahlawanan.
v  Rasa benci dan tunduk kepada bangsa lain.
v  Mendukung gerakan-gerakan kemerdekaan di seluruh dunia.
v  Bermusuhan dengan penjajah dan seterusnya.
Kesemua orientasi dan perasaan politik tersebut sangat penting, dan seharusnya politisi dakwah membangunnya pada dirinya dan pada umat Islam serta pada masyarakat umum.
B.      Memiliki Kesadaran Politik
Kesadaran politik yang mesti dimiliki oleh seorang politisi dakwah adalah:
Pertama, Kesadaran Misi, yaitu kesadaran terhadap ajaran Islam itu sendiri, atau kesadaran akan doktrin-doktrin yang telah disebutkan di depan. Ia meliputi pada penyadaran akan dasar-dasar aqidah, akhlak, sosial, ekonomi dan politik Islam. Meliputi pada penyadaran akan pentingnya aplikasi Islam, sebagai asas identitas umat. Selanjuntnya meliputi pula pada penyadaran terhadap karakteristik konseptualnya. Misalnya ia adalah konsep universal untuk seluruh zaman dan tempat.

Kedua, Kesadaran Gerakan
, yaitu kesadaran terhadap ajaran islam tak akan terwujud di tengah masyarakat dan negara kecuali ada organisasi pergerakan yang berkomitmen dengan asas Islam, dan bekerja untuk mewujudkannya.
Ketiga, Kesadaran Akan Problematika Politik Yang Terjadi Di Masyarakat, yang meliputi probelematika politik nasional, regional dan internasional. Contoh untuk problematika nasional adalah penegakan hukum Islam dengan usulan agar UUD 1945 pasal 29 diamandemen, dan memasukkan ke dalamnya tujuh kata piagam Jakarta.

Keempat, Kesadaran Akan Hakikat Dan Sikap Politik
, yaitu kemampuan politisi dakwah memahami peristiwa poltik dan sadar akan sikap kekuatan-kekuatan politik dalam menghadapi berbagai peristiwa politik itu sendiri. Kesadaran semacam ini tak mungkin ada tanpa kemampuan mutabaah terhadap berbagai peristiwa dan berbagai kekuatan politik baik melalui media massa maupun kajian-kajian.
Keempat kesadaran poltik tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesadaran misi adalah kesadaran permanen. Kesadaran gerakan adalah kesadaran permanen dan fleksibel. Kesadaran problematika politik adalah kesadaran fleksibel berdasarkan pandangan yang permanen. Kesadaran sikap politik adalah kesadaran fleksibel sesuai jenis peristiwa.
C.    Berpatisipasi Dalam Kegiatan-Kegiatan Politik
Partisipasi politik seseorang sangat bergantung orientasi politiknya yang telah terbentuk oleh doktrin-doktrin politik yang telah diyakininya. Maka seorang politisi dakwah yang telah meyakini bahwa menegakkan pemerintahan Islam dalah kewajiban, pasti akan berparisipasi pada setiap kegiatan politik yang kan menuju ke sana. Dalam rangka menggapai keyakinan tersebut, seorang politisi dakwah dapat berpartisipasi:
Pertama, dalam bentuk individu dengan menjadi anggota organisasi politik.
Kedua, dalam bentuk memberikan solusi atas realita dan problematika masyarakat.
Contoh untuk bentuk yang pertama adalah, lahirnya partai-partai politik yang sebelumnya hanya berbentuk gerakan-gerakan dakwah yang terorganisir rapi dan sistematis, yang kemudian setiap anggota gerakan menjadi anggota partai politik secara otomatis. Dan mensukseskan setiap kegiatan partai tersebut pada setiap jenjang struktur yang menjadi hak dan wewenangnya. Sedang contoh untuk bentuk yang kedua adalah, keikutsertaan seorang politisi dakwah dalam aksi-aksi politik, seperti demonsntrasi menentang kebijakan nasional atau internasional yang merugikan agama Islam, atau keikutsertaan seorang politisi dakwah dalam pelayanan sosial, misalnya dengan membantu warga yang sedang mendapatkan musibah atau bencana alam, atau dengan melakukan upaya menghilangkan buta huruf di masyarakat, atau dengan mengadakan aksi mengangkat masyarakat dari bawah garis kemiskinan dan lain-lainnya.

2.8.  Langkah-Langkah Menuju Politisi Dakwah
Semoga dengan uraian di depan dapat menghilangkan keterbelahan pemahaman bahwa dakwah dan politik adalah sesuatu yang kontra, dan tak dapat disatukan dalam satu aktifitas. Sehingga  seseorang tertanam akan jiwa untuk menanam saham kebaikan dalam rangka membangun peradaban dunia, yang sesuai kehendak Allah, melaui aktifitas dakwah dan politik. Akan tetapi dari mana seseorang atau individu itu harus memulai?

Pertama, Membangun Kembali Pemahaman Kegamaan Individu. Bahwa agama Islam itu agama yang syamil, mencakup seluruh aspek kehidupan. Bahwa agama Islam itu asasnya aqidah, batangnya amal ibadah dan buahnya adalah akhlak. Bahwa agama Islam itu diamalkan di dunia dan pahalanya diperoleh di akhirat. Bahwa agama Islam itu diturunkan Allah untuk semua manusia, dan sterusnya. Pemahaman ini harus dibangun melalui peroses belajar mengajar.



Islam mengajarkan bahwa belajar dilakukan dengan dua hal:
a.       Dengan membaca fenomena-fenomena alam dan literatur-literatur
b.      Dengan belajar melalui guru.
Kedua metode tersebut harus dilakukan oleh stiap muslim, tidak boleh hanya salah satunya.Sebab dengan membaca saja seseorang dapat tersesat, atau dengan melalui guru saja, seseorang memiliki wawasan yang sempit. Karena dengan demikian, seseorang sebagai politisi dakwah dapat mengamalkan Islam penuh tanggung jawab, tak berdasarkan hawa nafsu.
Ketiga, Membangun Kembali Kebersamaan Tiap Individu. Bahwa individu itu bersaudara, tidak dipisahkan oleh batasan darah, suku dan bangsa, apalagi hanya dibatasi oleh perbedaan organisasi keagamaan atau perbedaan madzhab. Bahwa individu itu perlu kerjasama dan berjamaah, karena memang setiap amalan dalam agama Islam sangat dianjurkan dilakukan dalam berjamaah. Bahwa individu tak dapat merealisasikan sebagian besar ajaran agama Islam kecuali dengan bersama-sama.
Kebersamaan dapat dibangun dengan kemampuan seseorang melepaskan egoisme individu masing-masing perorangan, sehingga kita dapat menerima dan memberi nasehat orang lain, serta mampu bersabar atas kekurangan dan perbedaan dalam kebersamaan. Sehingga kebersamaan ini membuat politisi dakwah menjadi kuat dan dapat segera mencapai cita-citanya.
Keempat, Mengenal Kembali Potensi Dan Kelebihan Diri Seseorang. Bahwa masing-masing perorangan memiliki kelebihan yang berbeda dengan orang lain.  Bahwa kelebihan seseorang dapat menjadi keunggulan yang menutupi kekurangan orang lain. Bahwa keunggulan seseorang dapat menghapus kelemahan seseorang. Yang penting, dengan keunggulan itu dapat orang jadikan sebagai sarana yang memanjangkan umur pahala seseorang. Sehingga seseorang menumbuhkannya secara terus dan menjadi politisi dakwah melalui keunggulan tersebut.
Kelima, Memahami Kembali Realitas Kehidupan Individu. Bahwa seseorang hidup pada hari ini, bukan hari kemarin yang sangat mungkin kulturnya jauh berbeda dgn hari ini. Bahwa kehidupan itu penuh dengan dinamika, sehingga seorang politisi dakwah dituntut memiliki kemampuan mengaktualisasikan ajaran Islam, dalam bentuk sarana, metode, dan cara sesuai zaman, tanpa harus keluar dari frame dasar agama ini.

2.9.  Hubungan Tak Terpisahkan Antara Dakwah Dan Politik
Persinggungan bahkan pergesekan antara dakwah dan politik terjadi ketika secara institusional dakwah dan politik diimpitkan atau dicoba untuk disatukan. Misalnya partai politik yang merangkap sebagai lembaga dakwah. Modus politik seperti semacam ini bukan saja melahirkan ambiguitas status pada institusi partai politik bersangkutan, tetapi juga menciptakan gesekan dan konflik dengan ormas islam yang sejak awal memilih jalur dakwah, bukan politik praktis.

Di sini politik dan dakwah tampak merupakan dunia yang tidak sama, baik dalam prinsip, nilai, maupun metode. Karena itu hubungannya akan menghasilkan pola dan kesimpulan yang berbeda, tergantung pada menempatkannya dan memfungsikannya, apakah dakwah dalam politik atau politik dalam dakwah.
Jika dakwah diletakkan dalam politik, dakwah menjadi instrument dan sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan politik partai yang bersangkutan.
Dakwah merupakan subordinat dari kepentingan politik, karenanya rawan untuk disalahgunakan. Dalam politik, mustahil sebuah partai tidak memiliki kepentingan politik untuk berkuasa. Karena itu, dakwah dari parpol bertujuan untuk kepentingan politik, seperti untuk merebut kekuasaan atau merpertahankannya.
Tidak jarang gesekan dengan ormas islam terjadi karena dakwah parpol menjadi ekspansi ke dalam organisasi dan kehidupan jamaah ormas islam, seperti melalui pengajian dan pengurusan masjid.
Begitu juga ketika terjadi bencana alam, bantuan dan sumbangan yang dikelola oleh parpol berjubah dakwah itu biasa diberikan dengan dengan syarat punya kartu atau menjadi anggota partai. Kerap bantuan dari pihak lain diklaim atau diberi stempel partai islam bersangkutan. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh alm. Muhammad Natsir, dakwah dan akhlaqul karimah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lain. Politik bukan sekedar pertarungan mencari atau meraih kekuasaan atau mengutip C. Calhoun ,”the ways in which people gain, use, and lose power”. Politik juga berkaitan dengan proses dan sistem yang berlangsung untuk menghasilkan kebijakan pemerintah dan keputusan legislatif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedaulatan Negara dan bangsa.
Kebijakan dan sikap berpolitik yang berbeda ragamnya dengan parpol dakwah merupakan suatu ikhtiar dalam mengapresiasi dakwah dan politik secara proporsional. dengan penempatan yang layak ini, hubungan antara dakwah dan politik bisa dipahami dalam dua hal, yakni:
       I.            Mengembalikan makna dakwah pada substansi nilai dan prinsipnya sebagaimana digariskan oleh Allah (QS Al Imron:104 dan 110; An-Nahl: 125; Fushilat:33)
    II.            Dakwah harus dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Misalnya, setiap politisi muslim yang bergelut dalam dunia politik berkewajiban melaksanakan dakwah, tetapi bukan dakwah untuk kepentingan politik.
Dalam hal ini menjadi contoh dan teladan di dunia politik sehingga nilai-nilai kejujuran, keberpihakan kepada rakyat, kesederhanaan, keluhuran dan kemuliaan bisa mewarnai perilaku politisi dan penyelenggara pemerintahan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Politik dakwah yang tepat dan pantas adalah bukan politisasi dakwah, karena makna dakwah sudah sangat jelas terkandung dalam Al Quran.
2.10.        Hakikat dari Hubungan antara Dakwah dengan Politik
Dakwah Islam yang telah berlangsung sekian lama ini pada intinya adalah sebuah proses dan upaya tabligh dalam arti menyampaikan kebenaran ajaran agama untuk membangun tatanan kehidupan yang penuh kedamaian dan jauh dari dendam masa lalu serta berusaha menatap ke depan yang lebih baik. Dalam bahasa fikih dakwah, membawa manusia dari jahiliyah menuju ilmiah, dari keadaan terpuruk menjadi penuh kemaslahatan, dan keadaan yang tidak mengindahkan aturan menuju keadaan yang memahami serta menaati peraturan dan begitu seterusnya.
Dalam hal ini jelas kebenaran ajaran Islam bahwa berpolitik bagian dari dakwah dan dakwah merupakan tujuan dari berpolitik. Karena Islam tidak hanya hadir di wilayah kematian, formalitas pertemuan dan wilayah kaku lainnya. Itu semua tidak membutuhkan ijtihad berat untuk mengusungnya. Semua sepakat dan siap melakukan ajaran Islam pada tataran simbolis demikian.
Tetapi, ketika yang diusung adalah ide kesatuan Islam yang terdiri dari persoalan akidah, ibadah, akhlak dan muamalah, baik dalam skala individu, keluarga, dan bermasyarakat serta bernegara tentu wajar jika mengundang polemik dan pertanyaan yang berterusan. Semestinya setiap kita berusaha mengangkat sisi keislaman tersebut dari aspek yang digeluti sehari-hari sehingga kesempurnaan dan komprehensivitas Islam tampak jelas di semua sehi kehidupan.












BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Berdasarkan sub-sub pembahasan yang telah dibahas di atas, dapat ditarik kesimpulan akan hubungan antara dakwah dengan politik, bahwa:

Dakwah dan politik adalah dua hal yang bisa saling memberikan simbiosis mutualisme, yang kemudian makna dari keduanya melebur dalam istilah dakwah politik atau politik dakwah. Karena dengan menggunakan kekuatan politik maka tujuan dakwah akan lebih cepat terealisasi seperti yang nabi peroleh ketika berdakwah di Madinah yang mana berbeda manakala nabi berdakwah di mekah.

Dakwah, membawa manusia dari jahiliyah menuju ilmiah, dari keadaan terpuruk menjadi penuh kemaslahatan, dan keadaan yang tidak mengindahkan aturan menuju keadaan yang memahami serta menaati peraturan dan begitu seterusnya.

Realitas menunjukkan bahwa dakwah Nabi Muhammad SAW. juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Siapapun yang menelaah sirah Nabi Muhammad SAW. baik yang ada dalam as-Sunnah maupun al-Quran akan menyimpulkan, bahwa dakwah yang dilakukan oleh Beliau dan para Sahabat, selain bersifat ritual, spiritual dan moral, juga merupakan dakwah yang bersifat politik. Artinya dakwah sangat erat hubunganya dengan politik yang mana itu terbukti sejak zaman Nabi Muhammad SAW.





Dan dengan politik itu sendiri di masukan dalam dakwah maka dengan sendirinya islam telah memberikan bagaimana cara berpolitik yang benar yang tidak mengganggu kepentingan orang lain, tidak memfitnah dan tidak pula menjatuhkan lawan, yang mana makna politik dalam pandangan islam sangat bertentangan dengan makna politik dari barat yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.

3.2. SARAN
Beradasarkan kesimppulan tersebut, maka harapan penulis agar kiranya pembaca dan khususnya penulis sendiri, mampu dalam menjalankan kehidupan duniawi untuk bekal dalam akhirat khususnya dalam bidang kehidupan berdakwah dan berpolitik.
 Dalam penulisan makalah yang berjudul Hubungan Dakwah dengan Politik ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis harapakan dari pembaca bilamana terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini agar kiranya memberikan komentar atau kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.









DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah Episod Kehidupan M Natsir Dan Azhar Basyir, Yogyakarta:Sipress. 1996

Nasution, Harun,Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya,Cet. V,Jilid I, Jakarta:UI Pers.1985

Hasan Al Banna,Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo:Intermedia.2005

Luth, Thohir, M Natsir Dakwah Dan Pemikirannya,Jakarta: Gema Insani.1999
Amin, Samsul Munir,  M.A, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah. 2009

M. Natsir, “Fungsi Dakwah Perjuangan”  dalam Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: Sipres. 1996

sumber lainya:





[1] M. Natsir, “Fungsi Dakwah Perjuangan”  dalam Abdul Munir Mulkhan, Ideologisasi Gerakan Dakwah, Yogyakarta: Sipres, 1996, cetakan 1, hlm. 52.
[4] Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 185
[5] Drs. Samsul Munir Amin, M.A, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009, hlm. 186-187
[6] Ibid.hlm. 187
[7] Luth, Thohir, M Natsir Dakwah Dan Pemikirannya,(Jakarta:Gema Insani.1999).Hlm 85

[8] Luth, Thohir, M Natsir Dakwah Dan Pemikirannya,(Jakarta:Gema Insani.1999).Hlm.89

0 komentar:

Posting Komentar