Rabu, 10 Desember 2014

// // Leave a Comment

MAKALAH PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR

PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR
Makalah Ini Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Tokoh Pemikiran Politik Islam

index.jpg











Dosen Pengampu
Dr. H. Arsyad Sobby Kesuma, Lc. ,M. Ag
Disusun Oleh
Trimo Prabowo           1231040005








PRODI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2014
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Segala puji dan syukur sudah sepantasnya penulis sampaikan kehadirat Allah SWT. Berkat rahmat, inayah dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Kajian Tokoh Pemikiran Politik Islam dengan Judul “ Pemikiran Mohammad Natsir”
Dalam penulisan makalah ini tentu saja masih jauh dari sempurna. Karena itu, penulis dengan ketulusan hati dan tangan terbuka menerima kritik dan saran konstruktif dari pembaca. Penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan khususnya penulis sendiri.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.

Bandar Lampung, 9 Desember 2014


Penulis                        











DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.      Latar Belakang Masalah................................................................................. 1
2.      Rumusan Masalah.......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 2
1.      Biografi Singkat Mohammad Natsir.............................................................. 2
2.      Karir Politik Mohammad Natsir..................................................................... 3
3.      Akhir Politik Mohammad Natsir.................................................................... 4
4.      Konsep Negara............................................................................................... 5
5.      Mohammad Natsir dan Negara Islam ........................................................... 8
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 13













BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang Masalah
Hubungan agama dan negara selalu menjadi wacana menarik sebagai bahan kajian, sejak dahulunya banyak pertarungan pemikiran antara para pemikir yang mengemukakan bahwa agama harus digabungkan dalam keselurahan aktivitas kehidupan dan pemikir-pemikir yang mengemukakan pemisahan antara agama dan kehidupan politik misalnya. Setiap orang memiliki hak untuk mengungkapkan idenya dalam rangka membangun masyarakat yang dicita-citakannya. Kepedulian seorang tokoh terhadap tanah kelahirannya dapat dilihat dari pemikiran, perjuangan dan tindakannya dalam mengartikulasikan ide-idenya. Ide-idenya itu dipaparkan secara komprehensif dan meyakinkan. Argumen-argumen yang dibangunnya disampaikan, mulai dari filosopis sampai praktisnya. Sehingga ide-idenya tidak saja memperkaya wacana, namun dapat dijabarkan secara operasional. Hal itu dimungkinkan karena kapasitasnya sebagai intelektual dan negarawan. Alangkah repotnya memahami sejarah perjuangan bangsa Indonesia tanpa mengenal Natsir. Dan adalah perbuatan yang sia-sia mengabaikan peran Natsir apalagi menutupi dengan sengaja maupun tersembunyi. Karena seperti kata orang bijak, kalau ingin mengenal sejarah, maka kenalilah ide dan gagasan pelakunya. Natsir memang telah tiada, namun ia telah mewariskan ide dan gagasan pemikiran yang mahal dan langka.

2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan ulasan di atas dapat ditarik beberapa masalah,yaitu:
1)      Siapakah tokoh Mohamaad Natsir sebenarnya ?
2)      Seperti apa karir politik yang pernah dilakukannya ?
3)      Konsep negara yang bagaimana menurut pandangan M. Natsir ?
4)      Bagaimana pandangan M. Natsir tentang Negara Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

1.     Biografi Singkat Mohammad Natsir
Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang.[1]Natsir lahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993.[2]
Ketika kecil, Natsir belajar di Holland Inlandse School (HIS) Solok serta di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan kemudian melanjutkan ke Algemene Middelbare Schol (AMS) Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir.[3]
Ia diakui sebagai tokoh handal sebagai Pemikir, Intelektual, Pujangga, dan Negarawan. Ia tdak hanya terampil menuangkan ide dan gagasannya dalam bentuk tulisan, namun ia juga bertindak secara nyata. Buktinya selain pernah mengetuai Jong Islamiten Bond (JIB) Bandung, 1928-1932, Natsir pernah pula aktif di Partai Islam Indonesia (PII) dan PERSIS. Di dunia pendidikan, Natsir sempat mendirikan Pendidikan Islam (Pendis) di Bandung, sebuah bentuk pendidikan Islam modern yang bernafas agama. Di Pendis ini, Natsir menjadi direktur selama 10 tahun, sejak 1932.[4] Walaupun Natsir selalu ’menghendaki’ agama sebagai ideologi negara, akan tetapi ia berusaha menampilkan semangat ke-Islaman-nya dengan wajah terbuka dan lebih luwes. Ia adalah seorang politisi profesional diantara banyak pemikir.[5]
Kiprah Natsir sebagai seorang tokoh intelektual, politikus, pemimpin negara maupun tokoh dunia Islam yang terkemuka di abad ini tak pernah selesai menjadi buah pembicaraan. Padahal dari segi asal-usul dan fisiknya, Natsir hanyalah orang biasa, dengan temperamen yang lemah lembut, bicara penuh sopan santun, dan kadang-kadang gemar bercanda dengan siapa saja yang menjadi teman bicaranya.
Namun dibalik temperamennya yang lemah lembut dan mudah tersenyum itu, sosok pribadi Natsir ialah ibarat batu karang yang kokoh. Ia termasuk seorang yang teguh memegang prinsip, walau dalam berhubungan dengan orang-orang lain, ia terkesan terbuka dan malahan cenderung kompromistik, sejauh kemungkinan kompromi-kompromi itu memang dapat dicapai tanpa mengorbankan prinsip-prinsip yang diyakininya.[6]
2.     Karir Politik Mohammad Natsir
M. Natsir mulai melibatkan diri dalam aktivitas politik praktis ketika ia mendaftarkan dirinya menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) dan terpilih menjadi ketua cabang partai di Bandung pada awal tahun 1940. Ia aktif pula dalam kepemimpinan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan politik islam yang didirikan menjelang akhir penjajahan Belanda di Indosesia.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) ia menjadi kepala bagian pendidikan kota madya Bandung serta merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Pada saat itulah  M. Natsir aktif dalam kepemimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk atas inisiatif pemerintah militer Jepang.[7] Pada masa awal kemerdekaan Indonesia M. Natsir tampil menjadi salah seorang politikus dan pemimpin negara.
Pada awalnya ia menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), kenudian ia menjadi menteri penerangan (1946-1948), anggota DPRS, dan akhirnya karir politiknya sampai ke puncak ketika ia dilantik menjadi Perdana Menteri Indonesia (1950-1951). Pelantikannya sebagai Perdana Menteri adalah konsekuensi wajar dari kedudukannya sebagai ketua partai politik terbesar di Indonesia pada masa itu, yakni Partai Masyumi.[8]
Karir politik M. Natsir mengalami pasang surut. Oposisinya terhadap presiden Soekarno pada masa Demokrasi Terpimpin dan sikap komunisme yang keras, mendorongnya untuk bergabung dengan kaum pembangkang yang pada mulanya digerakkan oleh panglima-panglima militer di daerah. Oposisi ini akhirnya merebak menjadi pergolakan bersenjata setelah membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat, yakni pemerintahan tandingan dari pemerintahan pusat Republik Indonesia di Jakarta. Alasan pembentukan PRRI, antara lain pemerintah pusat terlalu toleran terhadap golongan komunis, memfokuskan pembangunan di Pulau Jawa, dan mengabaikan daerah lain di Indonesia. PRRI akhirnya dapat dilumpuhkan secara militer oleh pemerintahan pusat sehingga kekuatan mereka tercerai berai. PRRI yang kemudian berganti nama menjadi Republik Persatuan Indonesia menghentikan perlawanannya setelah pemerintah pusat mengumumkan Amnesti umum kepada mereka yang menyerahkan diri.[9]
3.     Akhir Politik Mohammad Natsir
Keterlibatan M. Natsir di dalam PRRI menyebabkannya ditahan oleh pemerintah Presiden Soekarno. Walaupun pada awalnya dijanjikan oleh Presiden Soekarno akan diberikan amnesti, kenyataanya M. Natsir selama tujuh tahun berada dalam tahanan tanpa proses peradilan sehingga kesalahannya secara hukum tidak pernah dibuktikan. M. Natsir baru dibebaskan oleh pemerintahan Orde Baru setelah pemerintah Presiden Soekarno jatuh.[10]
Memasuki masa tua, M. Natsir mulai enggan melibatkan diri dalam  percaturan politik secara langsung. Meskipun demikian, pengaruh pribadinya tidak dapat diabaikan dalam dunia politik Indonesia. M. Natsir telah membantu pemerintah Orde Baru sekurang-kurangnya ada tiga hal:
Pertama, memperlancar hubungan dengan negara Timur Tengah (dengan memberi katebelletje untuk kemudahan berhubungan bagi Ali Moertopo).
Kedua, mempermudah normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia (dengan memberikan nota kecil kepada Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia melalui Brigadir Jendral Sofyar karena Tunku tidak mau menerima delegasi RI besangkutan).
Ketiga, mengeluarkan pernyataan kepada pers bahwa ia mendukung pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru atas pembangunan yang dilancarkan oleh pemerintah Orde Baru atas permintaan dari asisten pribadi Presiden, Soedjono Humardani melalui mantan Duta Besar RI di Roma, Mohammad Rasdjid).[11]
Semakin tua usianya menuntut ia untuk semakin memusatkan perhatiaanya pada soal-soal dakwah dan pembangunan umat. Hinggga akhir hayatnya ia menjadi Ketua Dewan Dakwah Islmiyah Indonesia, sebuah organisasi sosial keagamaan yang tidak melibatkan diri secara langsung ke dalam peristiwa-peristiwa politik.[12]
Dalam hal ini, M. Natsir tidak ingin melibatkan dirinya secara langsung dalam pertarungan politik. Namun, terkadang ia masih menggunakan pengaruh pribadinya untuk menumbuhkan susana kehidupan politik yang lebih baik dan lebih demokratis sesuai dengan konstitusi di negeri ini. Sikap politik M. Natsir yang paling akhir menjelang wafatnya adalah dukungannya terhadap Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Pemilu 1992.[13]

4.      Konsep Negara
Menurut M. Natsir, negara adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas, dan tujuan yang khusus.[14] Pengertian institusi ini lebih diterangkan oleh M. Natsir sebagai suatu badan dan organisasi uyang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri dan diakui oleh umum. Menurutnya, syarat-syarat berdidrinya suatu badan atau organisasi tersebut ditentukan karena bertujuan untuk mencukupi kebutuhan masyarakat dibidang jasmani dan rohani, mempunyai peraturan-pertauran, norma dan nilai-nilai tertentu, berdasarkan hukum atas pelanggaran peraturan-peratuaran dan norma-norma lainnya. Oleh karena itu, berdirinya sebuah negara sebagai sebuah institusi haruslah memiliki wilayah, rakyat, pemerintahan, kedaulatan, dan undang-undang dasar atau sumber hukum dan aturan-aturan lainya yang tidak tertulis.
Dengan kedudukan tersebut, menurut M. Natsir institusi tersebut memiliki cakupan sebagai berikut:
1.      Meliputi seluruh masyarakat dan segala institusi yang terdapat didalamnya.
2.      Mengikat atau mempersatukan institusi-institusi tersebut dalam suatu peraturan hukum.
3.      Menjalankan koordinasi dan regulasi dari seluruh baigian-bagian masyarakat.
4.      Memiliki hak untuk memaksa anggota guna mengikuti peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang ditentukan olehnya.
5.      Mempunyai tujuan utnuk memimpin, memberi bimbingan, dan memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan.[15]
Berdirinya negara tersebut, menurut M. Natsir, bukanlah sebagai tujuan utamanya, melainkan hanya alat-alat menjamin supaya aturan-aturan tersebut yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. dapat berlaku dan berjalan sebagaimana semestinya. Semua perintah islam ini tidak berarti bila tidak disertai oleh alat. Sebagaimana yang dinyatakan oleh M. Natsir bahwa tujuan utama berdirinya negara adalah kesempurnaan berlakunya undang-undang ilahi, baik yang berkenaan dengan peri kehidupan manusia sebagai individu atau sebagai anggota masyarkat, yang berkenaan dengan kehidupan didunia yang fana ini, maupun yang berhubungan kehidupan kelak di alam baka.[16]
Pandanagan M. Natsir yang berusaha untuk menerapkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai kerohanian, sosial dan politik islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi serta menyesuaikannya dengan perkembangan-perkembangan mutakhir dalam sejarah peradaban umat manusia tersebut didasarkan pada keyakinannya tentang tauhid yang menurutnya mengandung dua sisi, yaitu Habl min Allah (perhubunagan manusia dengan Tuhan) dan habl min an nas (hubungan antara manusia dengan manusia)
Islam menurut M. Natsir, tidakalah memisahkan urusan kerohanian dengan urusan keduniawian. Segi-segi kerohanian itu akan menjadi landasan bagi segi-segi keduniaan. Ini bermakna bahwa etika keagamaan yang bercorak universal yang ditekankan oleh ajaran islam mestilah menjadi dasar bagi kehidupan politik. Jadi, politik bukan suatu tampak netral. Kekotoran ataupun kesucian politik bergantung pada sejauhmana manusia yanf terlibat dalam politik itu mampu menjadikan asas-asas kerohanian sebagai pedoman berperilaku politik mereka.[17]
Sejauh mengenai hubungan doktrin yang termasuk di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi dengan pembentukan lembaga-lembaga politik seperti negara-negara serta badan-badan yang menjadi strukturnya, menurut M. Natsir tidaklah melihat islam sebagai ad-din wa-daulah (agama dan negara) secara sekaligus. Menurut M. Natsir memandang negara sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan perintah-perintah agama, namun eksistensinya adalah sebagai alat belaka dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri.
Berdasarkan hal itu tersebut, tujauan negara asebagai sebuah institusi yang paling penting menurut M. Natsir adalah dalam rangka penegakkan syari’ah. Keyakinan M. Natsir ini tampaknya didasarkan pada rumusan konseptual bahwa hukum atau undang-undang hanya dapat dilaksankan jika ada otoritas yang melaksankan penerapan hukum, yakni melalui institusi negara. Adapun proses berdirinya negara tersebut menurut M. Natsir adalah karena adanya keinginan dari kaum muslim untuk melaksakan perintah Allah SWT. Dengan berdirinya sebuah negara tersebut yang merupakan suatu organisasi islam dalam satu wilayah dapat memaksakan kekuasaaanya secara syah terhadap sebuah golongan kekuasaan lainnya dan dapat menetapkan tujuan-tujuan kehidupan bersama.
Jadi, kehidupan bernegara menurut M. Natsir, merupakan suatu keharusan dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat untuk mewujudkan keteraturan dan agar mampu mewujudkan kepentingan bersama dalam masyarakat. Dengan adanya beserta alat-alat kenegaaraanya mereka dapat memaksakan sesuatu keinginan bersama demi kehidupan dan kebaikan kemaslahatan bersama pula.
6.      Mohammad Natsir dan Negara Islam
Sejak awal M. Ntasir berpendirian bahwa islam bukan hanya sekedar agama pribadi yang mengurus soal-soal hubungan manusia kepada Tuhan. Islam adalah agama yang lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk politik kenegaraan. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik.  Perbedaan geografis dan etnis, menurut Natsir adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah dan merupakan sesuatu yang alami. Karena itu, islam dapat berdiri sesuai dengan perbedaan-perbedaan tersebut. Hanya saja mereka diikat oleh satu ikatan akidah islamiah.[18] Inilah yang menyatukan mereka.
M. Natsir menegaskan, ajaran islam memilik sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara serta menjamin keragaman hidup bebrbagai golongan. Islam memiliki toleransi yang besar terhadapa kelompok minoritas. Karena itu, kelompok minoritas tidak perlu takut pada islam, karena akan dilindungi dan kebbasannya akan terjamin.
Ketika berpidato di pakistan 1952, M. Natsir memilik pandangan yang positif tetang pancasila. Menurutnya, pancasila merupakan dasar spritual, moral dan etika negara dan bangsa Indonesia. Pancasila yang memiliki nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial, menurutnya, tidak mungkin bertentangan dengan islam. Lalu, pada 1954 M. Natsir menegaskan sikapnya terhadap pancasila. Dalam pidato Nuzulul Qur’an 1954 ia menyatakan bahwa pancasila adalah hasil rumusan musyawarah para pemimpin Indonesia yang sebagian besar beragama islam pada 1945.
Pastilah mereka tidak akan membenarkan suatu perumusan yang menurut pandangan mereka nyata bertentangan dengan asas ajaran islam. Bahkan secara retorik, Natsir mengungkapkan bahwa kelima sila dalam pancasila tidak mungkin bertentangan dengan ajaran islam. M. Natsir menyimpulkan “Dalam pangakuan Quran, pantjcasila akan hidup subur. Satu dengan lain tidak a priori bertentangan tetapi tidak pula identik (sama)”.[19]
Akan tetapi, mengapa di Konstituante ia menyerang abis-abisan pancasila sebagai ideologi sekuler yang menyebabkan lawan-lawan politiknya menyerang balik perubahan pemikirannya? Setidaknya, ada beberapa hal yang dapat dicatat untuk menjelaskan sikap Natsir ini. Pertama, pancasila, dalam perkembanganya, ternyata ibarat cek kosong yang bisa diisi dan ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan pandangan dan kepentingannya. Seorang PKI yang nyata-nyata anti Tuhan mengaku sebagai Pancasila dan menafsirkannya sesuai dengan pendiriannya. Sementara Soekarno memeras Pancasila menjadi eka sila, yakni Gotong royong. Dengan demikian, Pancasila sebagai Ideologi terbuka sangat rawan penyimpangannya dan pembelokannya. Warna pancasila sangat relatif dan tergantung pada falsafah hidup para pendukungnya.
Sebenarnya, dalam pidato Nuzulul Qur’an yang dikutip di atas, M. Natsir sudah mewanti-wanti kemungkinan penafsiran yang beragam tersebut. Ia menegaskan:
“Berlainan soalnja, apabila sila ketuhanan yang maha esa itu hanja sekedar buah bibir, bagi orang-orang yang djiwanja sebenarnja sceptis dan penuh ironi terhadap agama; bagi orang inilah dalam ajunan langkahnja jang pertama ini sadja pantjcasila sudah lumpuh. Apabila sila pertama ini, yang hakikatnja urat tunggang bagi sila-sila berikutnya, sudah tumbang, maka seluruhnya angka hampa dan amorph, tidak mempunjai bentuk jang tentu. Jang tinggal adalah kerangka panjasila jang mudah sekali dipergunakan untuk penutup tiap-tiap langkah perbuatan jang tanpa sila, tidak berkesusilaan sama sekali.[20]
Natsir menegaskan bahwa pancasila jangan digunakan untuk menentang terlaksananya ajaran-ajaran agama islam.
Kedua, dalam konteks politik ketika itu, adalah sah-sah saja mengajukan gagasan alternatif selain pancasila sebagai dasar negara, karena tugas konstiotuante  memang untuk merumuskan dasar negara. M. Natsir sebagai pimpinan Partai Politik Islam tentu sah pula mengajukan Islam sebagai  alternatif dasar negara , sebagaimana halnya pendukung pancasila berjuang menggolkan pendirian mereka. Di lembaga legislatif inilah mereka, baik pendukung pancasila maupun pendukung islam sebagai dasar negara, beradu argumentasi secara bebas untuk memperjuangkan pendirian dan pandangan masing-masing.
Ketiga, hal ini juga merupakan amanat dari para pemilihnya yang menyalurkan aspirasi politik mereka lewat Masyumi. M. Natsir, dengan partainya Masyumi, telah memilih Islam sebagai ideologi dan berusaha memperjuangkannya ke dalam konstitusi. Karenanya, perjuangan M. Natsir mengajukan Islam sebagai dasar-dasar negara adalah sesuatu yang konstitusiaonal.
Namun sejarah mencatat, perdebatan di Konstituante tidak mencapai titik temu. Masing-masing kekuatan politik tetap bertahan pada pendiriannya. Presiden Soekarno tidak sabaran melihat kodisi demikian. Akhirnya ia mengeluarkan dekrit membubarkan konstituante dan kembali ke UUD 1945. Padahal menurut Syafi’i Maarif, Konstituante saat itu sudah menyelesaikan 90% dari tugas-tugasnya.[21] Kandaslah cita-cita Natsir untuk menjadikan islam sebagai dasar negara.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdarkan ulasan pembahasan pada bab dua maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Natsir terlahir di Minangkabau, Alahan Panjang, Sumatra Barat 17 Juli 1908, dan wafat di Jakarta 5 Februari 1993. Natsir adalah pribadi yang penuh pesona. Ia ibarat mata air yang tak pernah kering meskipun kemarau datang berkepanjangan. Sejak ia muda, bersekolah di Bandung dan terlibat dalam berbagai polemik intelektual di bidang keagamaan dan politik, ia selalu menjadi fokus perhatian orang.
Karir yang pernah ia lakuakan semasa hidupnya sangat mngesankan dan patut sebagai tauladan bagi para kaum intelektual muslim lainnya. Adapun karir politik yang pernah ia bidangi, yakni:
a.       Menjadi anggota Partai Islam Indonesia (PII) dan terpilih menjadi ketua cabang partai di Bandung pada awal tahun 1940
b.      Aktif dalam kepemimpinan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), suatu badan federasi organisasi sosial dan politik islam yang didirikan menjelang akhir penjajahan Belanda di Indosesia.
c.       Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) ia menjadi kepala bagian pendidikan kota madya Bandung serta merangkap sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta
d.      Aktif dalam kepemimpinan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang dibentuk atas inisiatif pemerintah militer Jepang.
e.       Menjadi Perdana Menteri Indonesia (1950-1951)
f.       Menjadi Menteri Penerangan  Indonesia(1946-1948)
g.      Anggota DPRS
h.      Ketua partai politik terbesar di Indonesia pada masa itu, yakni Partai Masyumi

Selama aktif dalam berbagai dunia sosial politik M. Natsir menyumbangkan ide-idenya. Beberapa ide dari pemikiran M. Natsir tersebut adalah terkait konsep negara dimana menurut pandangannya, negara adalah sebagai sesuatu yang perlu untuk menegakkan perintah-perintah agama. Berdasarkan hal itu tersebut, tujuan negara sebagai sebuah institusi yang paling penting menurut M. Natsir adalah dalam rangka penegakkan syari’ah.
Dari pandaangan tersebut M. Natsir di atas pula dapat ditarik benang merah bahwa M. Natsir dalam hal tersebut menjamin bahwa dalam suatu negara yang berdasarkan islam, umat dari agama lain mendapat kemerdekaan agama dengan luas dan nereka tidak akan berkeberatan kalau di negara itu berlaku hukum islam mengenai kemasyarakatan, karena hukum tersebut tidak bertentangan dengan agama mereka. Dengan berlakunya undang-undang islam, agama mereka tidak akan terganggu, tidak akan rusak, dan tidak akan kurang suatu apapun.























DAFTAR PUSTAKA



Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976.
Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com), diakses 8 Desember  2014.
G. H. Jansen, Islam Militan. Terjemahan oleh Armahedi Mahzar, Bandung: Pustaka, 1983
Abdullah, Boedi & Yaya. 2010. Pemikiran Moderen dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Bashari, Yanto & Retno S.2005. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa.
Hamka, Natsir. 2001. Pahlawan Nasional dalam Membincangkan Tokoh Bangsa. Bandung: Mizan.
Muhammad Natsir. 2004. Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy.
Mohammad Natsir. 1954. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang.
Mohammda Iqbal & Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam:dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Mohammad Natsir. Capita Selekta II. Bandung: Sumur t.tp.
Ahmad syafi’i Maarif. 1993. Peta Bumi Intelektual Islam Indonesia. Bandung: Mizan. Hlm. 172




[1] Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Pemikiran dan Perjuangan Muhammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.  Hal. 1
[2] Mohammad Natsir (b), World Of Islam Festival dalam perspektif sejarah, Jakarta: Yayasan Idayu, 1976. hal., 51
[3] Wikipedia, Mohammad Natsir, (Online), (www.wikipedia.com), diakses 8 Desember  2014.
[4] Lihat dalam pengantar Abibullah Djaini dalam Anwar Harjono, et. al., Op.cit. 11
[5] G. H. Jansen, Islam Militan. Terjemahan oleh Armahedi Mahzar, Bandung: Pustaka, 1983, hal., 231, 272
[6]  Anwar Harjono, et. al., Op.cit., hal.,. 1. 
[7] Abdullah, Boedi & Yaya. 2010. Pemikiran Moderen dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia. Hlm.381
[8] Bashari, Yanto & Retno S.2005. Sejarah Tokoh Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa. Hlm. 273
[9] Ibid .hlm. 274
[10] Ibid. Hlm.383
[11]Hamka, Natsir. 2001. Pahlawan Nasional dalam Membincangkan Tokoh Bangsa. Bandung: Mizan. Hlm. 187
[12] Bashari. Ibid. Hlm. 274
[13] Abdullah. Ibid. 384
[14] Muhammad Natsir. 2004. Islam sebagai Dasar Negara. Bandung: Sega Arsy. Hlm. 22
[15] Ibid. Hlm. 23-24
[16] Mohammad Natsir. 1954. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm. 442
[17] Abdullah. Ibid. Hlm. 387
[18]Mohammda Iqbal & Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam:dari masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana. Hlm.221
[19] Mohammad Natsir. Capita Selekta II. Bandung: Sumur t.tp. Hlm. 148
[20] Ibid. hlm. 148
[21] Ahmad syafi’i Maarif. 1993. Peta Bumi Intelektual Islam Indonesia. Bandung: Mizan. Hlm. 172

0 komentar:

Posting Komentar